Chapter 04

922 154 5
                                    

Begini. Aku ingin sekali menjadi seorang adik yang baik hati. Barangkali minimal bisa dikenang sebagai malaikat hidup kalau sudah mati. Sudah kucoba, tapi gagal. Tahu kenapa? Itu karena pagi ini aku terbangun, berharap menemukan pangeran idaman berwajah bak malaikat,tapi malah menemukan Jungkook setengah mengorok di atas ranjangku—berwajah jelek, dekil, dan mirip gelandangan. Mungkin mataku saja yang bermasalah, sebab Mama selalu memuji-muji betapa tampannya si sulung yang banyak iler kalau baru terbangun dari tidur. Namun, tentu saja, amarahku mendadak meluap saat menemukan pemuda jorok itu sudah menciptakan sebuah pulau ilegal di bantal dengan air liurnya, terkekeh-kekeh seperti bayi aneh dan aku tidak bisa untuk tidak marah.

"Jangan marah dong," katanya sambil menguap. Mata mengerjap dua kali sebab aku menarik selimutnya dengan cara bar-bar dan ia agak terkesiap bangun. Menemukanku menatapnya sebal, Jungkook menambahkan tanpa berniat memperbaiki keadaan, "Lagi pula saat tidur, kondisimu juga tidak jauh berbeda dariku."

Aku menatapnya berkilat-kilat. "Jangan tidur di kamarku lagi. Tidur di kandang bebek sana!"

Dia hanya terkekeh-kekeh sambil bangkit dari ranjang.

Kami sempat bertengkar selama dua jam lamanya sebelum ia meminta maaf dan setuju untuk menunggu seluruh kelasku selesai dan memberikan tumpangan gratis untuk pulang dari kampus nanti. Aku agak tidak rela untuk berkata aku akan memaafkannya, tetapi jaminan kendaraan gratis itu terlalu sayang untuk dilewatkan. Namun, sekarang aku sepertinya sedang menghadapi situasi yang lebih kritis daripada menghadapi pulau ilegal yang diciptakan Jeon Jungkook.

"Mau berkencan denganku, ya?"

Oh, well. Aku mengedip dua kali. Berusaha menelisik kalau-kalau Mingyu di hadapanku akan melompat dan berkata dengan ekspresi menyebalkan, 'Waduh, jangan menatapku begitu, dong! Aku, 'kan, hanya bercanda!' — tetapi tak ada. Ekspresinya cemas. Gugup. Mirip sekali seperti anak gadis perawan yang akan dipinang oleh laki-laki kaya. Jadi, tak heran kalau sedetik kemudian aku hampir tersedak salivaku sendiri, menatapnya tak percaya dan berbisik tak percaya, "Kau tidak sedang bercanda, ya?"

Mingyu buru-buru mengangguk dengan sepasang iris yang masih menatap begitu lurus, teguh dengan ucapannya, "Jian. Aku serius."

Jujur saja? Aku tidak sedang ingin serius. Tidak dalam konteks pembicaraan bertipe seperti ini atau dalam membangun sebuah hubungan. Aku malah tergoda sekali untuk tertawa, menepuk bahu mantan partner klub majalah setahun yang lalu tersebut dan berkata, "Itu lelucon yang tidak begitu buruk, Ming. Kau taruhan dengan siapa, sih?"

Namun, setelah menilik kembali pandangan beberapa orang yang melintas di deret loker, menatap kami berdua seolah kami adalah sepasang orang aneh yang sedang mengenakan rok berumbai ala penari Hawaii, itu membuatku mengurungkan niat tersebut.

Aku tidak tahu. Kurasa aku hanya tidak ingin menjadi gadis jahat yang gemar membuat orang lain merasa buruk seperti yang ada di drama televisi. Aku harus menghargai perasaaan seseorang, itu yang Mama katakan. Namun, kenapa Kim Mingyu ini tidak menyerah sekali pun aku sudah menolaknya selama tiga kali? Ini akan menjadi yang keempat, astaga. Aku jadi merasa tidak enak sendiri kalau sudah begini.

Baru lima menit yang lalu aku berpikir kalau Mingyu hanya datang untuk menyapaku yang sedang memasukkan buku ke dalam loker—sebab aku mungkin terlihat menyedihkan dan kesepian. Aku tidak tahu kalau ternyata dia belum menyerah.

Punya niat yang kuat itu memang bagus. Namun, kalau begini caranya ....

"Mingyu, dengar. Kurasa kau sudah salah dalam mengartikan sikapku padamu selama ini." Aku menghela napas, bingung. "Aku tahu kau ini pemuda yang amat sangat baik. Kau tahu, kau harus mendapatkan gadis yang memang menyukaimu sebagai pria, bukannya teman. Kau pantas mendapatkan gadis seperti itu, oke? Dan itu bukan aku."

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang