Chapter 23

540 86 4
                                    

Sekarang pukul tujuh lebih seperempat. Melalui kedua netranya yang menggelayut sendu melirik keluar jendela, Jian diam-diam berharap bahwa matahari hari ini akan membakar seluruh dunia. Sayangnya, langit masih betah bergelung meredup, kelabu pekat bekas hujan semalam.

Gadis itu semerta-merta menarik napas. Ia mengusap wajah, menyugar surainya dan berharap perasaan yang mengganjal di dada bisa lenyap ketika ia benar-benar tersadar. Namun, bahkan setelah menghabiskan beberapa menit terduduk di atas ranjang, terkulai menatap kedua tangannya yang terasa janggal seolah masih berlumur darah, Jian bertanya-tanya apakah Mama terlelap dengan nyaman di tempat tidur barunya. Mungkin, barangkali. Ia tidak tahu.

Petrikor diam-diam tengah merembes melewati celah-celah jendela, merebak masuk mengisi ruangan bersama bayangan cahaya samar di luar sana. Menarik napas, merasakan kepalanya berputar-putar, Jian menyibak selimut sebelum bangkit seraya menyeret tungkainya begitu lesu. Wajah gadis itu sekeruh air telaga yang baru saja diaduk mencapai dasar, perlahan mendorong pintu kamar mandi terbuka dan menatap refleksinya di dalam sana.

Aneh, ya.

Tempat ini bukan kamarnya, bukan rumahnya, tetapi tak peduli ke mana pun ia pergi, wajah sama serta ekspresi abu-abu di dalam cermin tetap saja tak pernah berubah. Jemari tersebut kemudian perlahan-lahan bergerak menyentuh dada, merasakan detak jantungnya berdegup selaras dengan detik jarum jam. Masih hidup. Masih bernapas. Masih bekerja. Namun, apakah ia tetap menjadi seorang manusia? Jian merasakan mual menggelegak samar. Hal yang ia inginkan hanya bertahan hidup. Mempertahankan nyawa. Melindungi seseorang yang dicintainya, yang menerimanya apa adanya, yang mengulurkan tangan tanpa melihat siapa ia sebenarnya.

Tentu saja. Dia tidak bersalah. Dia memang berdosa, tetapi tak bersalah. Jian menghukum Minhee atas apa yang dilakukannya. Apa yang kau tanam, maka itu pula yang akan kau tuai. Ia sudah salah membiarkan kakaknya berkencan dengan banyak gadis. Jian pikir Jungkook tidak akan terluka—itu juga salah.

Jadi, sebelum terlambat, sebelum hal sama terjadi kembali, ia memberikan gadis lain yang datang sebuah pelajaran. Jo Woori harusnya bersyukur, Jian menatap kedua netranya sendiri yang mengerjap kosong. Untungnya ia meminta bantuan Azazel lagi. Jika Jian sendiri yang menghabisi gadis itu, Woori tidak akan mati dengan mudah. Gadis itu tidak akan semerta-merta menusuk lehernya sendiri sampai kehabisan darah. Gadis itu pasti akan memohon untuk sang kematian dan memohon untuk hal tersebut benar-benar ..., mengerikan.

Benar, bukan?

Benar, bukan?

Benar, bukan?

Iya, benar.

Lantas, kenapa kau tidak setuju?

Mengapa semuanya jadi begitu berantakan?

Jika saja kemarin malam ia pulang lebih cepat dari rumah Minhee, maka—

Tidak, sial. Jian menggeleng. Tak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi. Rencana selanjutnya harus berjalan dengan baik. Azazel pasti akan datang lagi. Iblis itu akan menagih apa yang sudah Jian janjikan padanya. Jadi, si gadis jelas harus melakukan semua hal sampai detil dengan sungguh-sungguh. Ia sudah memiliki kuncinya, tak peduli apa resikonya. Dibenci. Dihakimi. Peduli setan. Bahkan sampai sekarang, Jian ingat bahwa salah seorang gadis yang sempat menitipkan hadiah untuk kakaknya pernah sekali bertanya padanya: "Tidakkah kau takut orang lain membencimu karena sikapmu?" tanyanya. "Aku bukannya merasa keberatan dengan apa yang kau lakukan. Aku bahkan tak peduli. Kau dan sikapmu bukan urusanku. Tetapi, kenapa?"

Well, kalau kau sudah membenci dirimu sebegitu banyaknya sampai sulit bernapas, kenapa repot-repot memikirkan kebencian milik orang lain? Jian kemudian mendongak, menatap lurus pada dinding rumah. Siapa ya, nama gadis itu? Kepalanya hanya mengingat seulas senyum tipis yang ia berikan sebagai jawaban, enggan untuk bertutur lebih lanjut.

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang