Chapter 01

1.2K 169 6
                                    

Aku ingat kalau ayahku dulu pernah membeli sebuah kepala rusa bertanduk super besar (yang mana hanya merupakan benda artifisial dan tidak sungguh-sungguh dipenggal dari tubuh hewan manis itu) untuk dijadikan hiasan dinding. Ukurannya tak main-main. Tatapannya mati dan dingin. Namun, karena mulutku tidak bisa berhenti menjerit setiap malam saat melewati ruang tengah—sumpah, ya, aku sungguh tidak terbiasa menemukan sepasang mata hitam besar di atas perapian elektrik yang melotot garang begitu—Ayah akhirnya menjualnya kembali entah kepada siapa sembari berkata, "Ayah tidak mengerti kenapa kau begitu takut pada benda mati, Ji. Padahal kepala rusanya tidak akan hidup kembali. Dia bahkan tidak pernah hidup."

Aku tahu ayahku menyukai kepala rusanya. Ia frustasi. Tidak mengerti. Namun mau bagaimana lagi? Baru sekarang aku mengerti betapa menyebalkannya perasaan tersebut; perasaan saat kau dipaksa melenyapkan sesuatu yang tidak mau lenyap begitu saja. Seperti insiden semalam saat Jungkook ..., melakukan sebuah tindakan tak terpuji. Aku harap belakang kepalanya benjol sekalian setelah ditimpuk menggunakan sepatu.

Biar tahu rasa sedikit. Untung aku tidak menggunakan batu bata.

Pagi tadi, aku menemukan kakakku sukses bersikap biasa saja—benar-benar biasa seolah semalam tak terjadi apa-apa dan aku ingin sekali mencekiknya di meja makan. Aku pun pandai berpura-pura, jangan salah sangka, jadi kulakukan hal yang sama secara sempurna. Dia tetap menggunakan kamar mandiku, melayangkan protes kecil saat telur mata sapinya matang secara utuh (Jungkook suka kalau telurnya matang setengah dan sial, kepalanya tidak benjol atau keropos meski sudah kulempar dengan sepatu), dan tak lupa Mama yang berteriak selama 15 menit karena aku berkelahi dengan Jungkook memperebutkan sepotong roti panggang terakhir.

Mau perspektif jujurku yang mengesalkan? Dia barangkali bersikap begitu karena sudah terbiasa. Melibas habis para gadis menjadi satu dari sekian keahlian yang Tuhan berikan padanya. Aku bahkan bisa membayangkan Jungkook berkata, "Aduh, kenapa kau menganggap itu sebagai ciuman, sih? Itu bukan ciuman. Itu cuma taktik dalam menyelamatkan diri tanpa harus melakukan aksi kekerasan, tahu."

Pandanganku lantas tertumbuk pada setumpuk kotak warna-warni yang berada di atas meja belajar. Cokelat. Surat. Pakaian. Semua untuk Jeon Jungkook. Aku menghadiri satu kelas pagi tadi, mulai dari jam 10 sampai 1 siang, kemudian bergegas pulang sebab Eri pergi berkencan dengan kekasihnya dan aku tak punya agenda lain. Meski datang ke kampus tanpa membawa apa-apa, kedua tanganku terisi penuh dengan barang-barang pemberian menjelang waktu pulang. Tak heran, sebab beberapa gadis tahu-tahu sudah berkumpul di lorong fakultas dan mencegatku seolah akan menadah uang. Namun alih-alih begitu, mereka hanya berkata, "Jian, tolong berikan semua hadiah ini pada kakakmu, ya. Jangan sampai lupa mengatakan siapa nama kami."

Lagi. Untuk yang kesekian kali.

Aku menghela napas, hanya bungkam sejenak sambil melemparkan pandangan, "Apa aku terlihat seperti memiliki paruh dan bekerja sampingan sebagai burung hantu pengantar surat?" — tetapi tentu saja mereka tidak mengerti. Jadi alih-alih begitu, kubalas saja sembari menadahkan tangan, "Oke."

"Bagus! Terima kasih—"

Bibirku memotong cepat, "Ongkosnya 30 ribu won."

"Tunggu, apa?"

Aku tersenyum tipis, memiringkan kepala sejenak dan melanjutkan secara terperinci, "Berat maksimal 1 kilogram per orang. Aku hanya membawa tiga benda, tidak lebih, jadi harap mengantre untuk pengiriman esok hari. Makanan basah tidak bisa dikirimkan karena—kau tahu, sulit membawanya. Aku hanya menerima cash, dilarang melakukan cicilan, tidak menerima kartu kredit, dan tambahan ongkos ekstra sebesar 10 ribu won akan membuatku ingat untuk menyampaikan nama kalian." Kutatap mereka yang melongo tak percaya lalu mengibaskan tangan. "Jadi? Mana uangku?"

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang