Epilogue

1.1K 109 17
                                    

"Jadi? Bagaimana kabarmu hari ini?"

Mengerikan.

Kim Taehyung semerta-merta mendongakkan pandangan dari cangkir teh di atas meja, mengedip sekali saat menemukan wajah Han Suyeon tersenyum tipis di hadapannya. Perempuan setengah baya dengan kacamata di pangkal hidung tersebut menatap Taehyung lurus, tidak terlihat mengintimidasi sama sekali, tetapi juga tidak terlihat seperti orang yang akan kau tepuk bahunya untuk disapa dengan wajah bersinar setiap hari.

Suyeon masih akan menemuinya selama beberapa pekan ke depan—Namjoon juga yang merekomendasikan demikian—dan Taehyung tahu ia masih punya beberapa waktu untuk mendapatkan bantuan lagi. Aroma bergamot di dalam ruangan seolah menjadi begitu bersahabat, menenangkan sedikit ketegangan, meluruhkan kegelisahan yang datang menyerbu setiap detik. Namun, saat menyadari psikiaternya itu masih menanti jawaban dengan sabar, Taehyung akhirnya mengangguk pelan, bergumam samar, "Kurasa? Masih sekali dua kali datang, tetapi aku bisa mengatasinya."

"Kau masih mengonsumsi obatmu?"

"Secara rutin, ya."

Suyeon mengangguk pelan. Perempuan itu kemudian menulis sesuatu di lembar kertasnya, terlihat begitu serius dan Taehyung memalingkan pandangan menatap keluar jendela lantai delapan. Hari ini langitnya biru, cuacanya cerah. Bukan hari yang pantas dihabiskan untuk mengkerut di dalam ruangan Nyonya Han seperti sekarang. Namun, Taehyung membutuhkan bantuannya, tidak dalam validasi memori, tetapi lebih mengarah pada ketakutannya sendiri. Ia tidak peduli kalau-kalau semua orang tak percaya dengan apa yang sudah dirinya lalui; apa yang sudah Taehyung saksikan, dan lihat dengan kedua mata kepalanya sendiri.

Barangkali di dalam laci-laci kepala, gedung tiga lantai yang menjadi saksi bisu tragedi malam itu akan tetap terlihat sama selama Taehyung masih bisa mengingatnya—gelap, dingin, dikungkung badai dengan tiga tubuh tak bernyawa yang teronggok begitu saja. Api di dalam tong tersebut menyala semakin redup, berhenti menjilati seolah mengerti bahwa tak ada lagi pertikaian yang disoroti. Memorinya hanya seterang nyala damar yang nyaris mati. Ia tak memiliki perasaan yang bisa melebihi rasa takutnya sendiri. Dia sudah menjadi pembunuh. Dia mengambil nyawa teman-temannya—semua hal tersebut takkan pergi terbang meninggalkan ia begitu saja. Terlebih lagi, Azazel juga seolah lenyap entah kemana.

Malam itu selepas ia puas menangis, menjerit, lalu berakhir dengan meringkuk ketakutan di lantai yang kotor nan lembab, Taehyung diam-diam mempersiapkan diri untuk menghadapi konsekuensi selanjutnya. Ia tidak bergerak pergi, ia tidak berlari. Ia menanti di sana, menunggu penduduk sekitar untuk datang ke dalam bangunan lalu memanggil polisi karena menyaksikan pemandangan mengerikan.

Namun, tatkala kesadarannya berputar, netranya mencari-cari Azazel yang melebur ke dalam udara, Taehyung nyatanya tidak pernah berakhir di kantor polisi atau di balik jeruji besi. Taehyung juga tidak muncul di televisi dengan gelar baru sebagai kriminal. Sebab pada keesokan harinya, pemuda tersebut kembali membuka mata di dalam kamar rumahnya yang tenang—telentang di atas ranjang yang hangat, tak menyisakan bekas insiden semalam kecuali dirinya bersama segudang kepanikan yang merayap ke seluruh persendian.

Tidak, koreksi. Tidak sendirian. Ada Namjoon di sana.

"Kau berteriak semalaman," ujar Namjoon pagi itu. Taehyung sejenak berhenti bernapas, menatap kosong pada dinding kamar, yakin betul bahwa ia berada di Oryukdo semalam. Namun, bagaimana bisa dia mendadak berada di dalam kamarnya? Di sini? Setengah ragu, si Kim juga mendengar sepupunya melanjutkan, "Apa yang terjadi? Kau bermimpi apa?"

"Jimin, Jian dan Jungkook," balasnya serak. Taehyung menyugar surainya, wajah terlihat sekusut selimut yang diremasnya dengan frustasi. "Aku harus pergi. Di mana mereka? Aku—aku tidak seharusnya ada di sini. Aku berada di Oryukdo. Ada hal buruk terjadi. Lalu mereka—"

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang