Jelasnya, aku tidak sedang bermimpi.
Kalau saja pemuda di depan wajahku ini tidak mengatakan hal sedemikian rupa, aku juga barangkali tidak akan menggali kembali memori lama yang sudah mengendap bertahun-tahun silam, merasakan sekujur tubuh meremang hebat, dan menatap seperti orang dungu yang kehilangan otak di tengah ujian mata kuliah sulit. Bahkan melengkapi semuanya, jantung di dalam dada ini bahkan terasa seperti baru saja meluncur jatuh ke dalam perut dan seolah akan melompat keluar sembari berlarian serta berteriak histeris, "Waduh, mati kau, Nak!"
Aku berhenti bernapas sejenak.
Sayangnya, dari semua fantasiku tersebut, yang benar-benar terjadi adalah bagian dimana diriku hanya sanggup melongo dan kehilangan fungsi otak. Wajahku pasti jelek sekali. Tak diragukan. Namun, sialnya, di hadapan sana, semakin mengikis jarak dan menatap lurus, Jungkook seolah menampik semua isi kepala begitu saja. Apalagi saat kedua belah bibirnya meloloskan kalimat baru, berbisik lirih dan sendu, "Jian?" katanya, menahan senyum. "Kalau diam saja, maka akan kuanggap iya, lho."
"Eh?"
"Tidak lupa, 'kan?"
Tidak, balasku dalam benak. Tentu saja aku tidak akan pernah bisa lupa tentang apa yang kami—atau yang sudah aku— lakukan semasa kecil dulu. Maksudku, itu memang hanya sebuah tindakan yang murni dilakukan karena ingin menolong—didorong oleh rasa kasihan yang membeludak sebab tak tahan melihat abangku kesulitan bernapas dengan wajah memerah karena flu serta suhu badan yang tinggi.
Meski Jungkook sekarang sepertinya sedang berupaya mengubah kesucian menjadi dosa besar yang akan mengirim kami ke neraka dengan kereta ekspres.
Namun, dulu sekali, memoriku menggeliat, aku memang pernah di sana, memandangnya tak sampai hati, mendekatkan wajah dan menempelkan bibir guna mencuri demam Jungkook sambil berbisik, "Demam, pindah ke aku saja, ya. Jangan Jungkook saja. Kasihan."
Terkesiap pelan tatkala Jungkook tak sengaja menggesekkan permukaan kulit lengannya pada kakiku, semua kenangannya memudar selagi mataku mengerjap. Pemuda tersebut mendekatkan wajah lagi, berusaha menghapus jarak sementara kedua kaki ini terasa bergetar. Rasanya ingin menendang dan menjerit, sebagian sisi lain ingin diam menunggu dan menanti apa yang kira-kira akan terjadi. Namun, menemukanku terjebak dalam ambang keraguan yang menjalar perlahan, Jungkook mendadak menatap dengan seulas senyum miring yang merangkak pada bibirnya—mengintimidasi seolah berkata, "Cepat putuskan atau aku akan melahapmu dalam sekejap."
Orang ini!
Aku tercekat. Tidak, Jian. Tidak. Sadarkan isi kepalamu. Jangan biarkan asumsi sinting Taehyung menang. Jangan biarkan hatimu bergejolak lebih hebat daripada akal dan nalar. Aku sudah hidup menyaksikan bagaimana Jeon Jungkook tumbuh. Semua aibnya, kebodohannya, aku tahu. Kami berasal dari rahim yang sama. Hal seperti ini tidak boleh terjadi. Namun, sebelum aku sempat membalas, rasanya dadaku seperti ditekan. Aku tersentak.
"Jungkook!" Jemariku kelabakan menutup rongga hidung, menatapnya tak percaya dan menjerit, "Kau kentut!"
"Tercium, ya?"
"YA AMPUN! JOROK!"
Si pelaku utama kejahatan sialan tak etis itu seketika terkekeh-kekeh tak jelas. Persetan dengan adegan komedi-romantis yang ada di TV. Ini sama sekali tidak terlihat serupa. Wajah Jungkook seketika berubah dalam hitungan detik—antara malu dan ingin terbahak-bahak—tetapi menatapku masih dengan posisinya yang setengah menindih, dia mendesis tak mau disalahkan, "Harusnya berpura-pura tidak mencium, dong."
Aku mendorong dadanya sebal. Mengibaskan tangan di wajah. "Ya bisa mati aku."
"Ya kalau begitu tidak jadi dicium," katanya tertawa. "Dasar perusak suasana."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Issues
FanfictionJika dilihat sekilas saja, tak ada yang mengira bahwa ada yang salah dengan Jeon Jungkook serta Jeon Jian. Kedua bersaudara tersebut terlihat sebagaimana wajarnya seorang kakak dan adik perempuan. Namun apabila diperhatikan sedikit lebih cermat, kau...