Chapter 26

457 77 1
                                    

Rumahnya masih terlihat lenggang. Mereka belum pulang?

Taehyung melemparkan tasnya sembarang ke sudut ruang tamu saat menjejakkan kaki ke dalam rumah. Tempat tersebut masih sama seperti saat ditinggalkan—lampu belum dinyalakan, dapur tidak menampakkan kehidupan, udara juga terasa sedikit pengap serta tidak ada tanda-tanda seseorang sudah kembali pulang walau sesaat. Napasnya terhenti sesaat. Tidak, tunggu. Ini kesempatannya.

Pemuda itu lantas bergegas pergi menuju sebuah kamar di lantai satu, mencoba membuka pintunya yang dikunci sebelum menelaah di mana ia menyimpan kunci cadangan. Syukurlah, benda-benda yang dikaitkan jadi satu itu masih berada di dalam nakas paling bawah di ruang tengah sukses mengantarkan si pemuda untuk menerobos masuk ke dalam kamar di mana Jian tertidur selama dua hari belakangan.

Kecurigaannya seolah membelitnya dengan begitu erat, saling menjaring satu sama lain mengenai mengapa Jian menolak memberitahunya tentang isi daftar nama yang sudah diminta kepada Minhee. Hal tersebut membuat Taehyung kembali teringat bahwa semalam Jian kembali ke rumah bersama kakaknya—berwajah semasam lemon, tidak mengatakan apa-apa dan Taehyung mendapatkan pesan pendek dari Jimin mengenai pertemuannya dengan Jeon bersaudara. Itu sudah lebih dari cukup sebagai bukti bahwa semalam Jian tidak berhasil melakukan apa yang sudah ia rencanakan. Jungkook, pemuda itu kini bersikap tak kalah anehnya. Seolah ada sesuatu kesadaran yang bergumul di dalam kepala, seolah pemuda tersebut merencanakan sesuatu. Dia bahkan tak menanggapi Taehyung seperti biasanya.

Ada jarak lebih besar yang mendadak terbentang.

Namun, mengingat hal tersebut sama saja seperti menggenggam pisau yang tajamnya luar biasa. Tak hanya menyadari bahwa tadi malam ia nyaris memberikan Jimin kepada Jian, tetapi pemuda itu juga tak bodoh untuk tidak tersadar bahwa genggamannya sendiri kini sudah goyah. Ia melakukan apa yang Jian minta; entah karena takut ia akan bernasib buruk jika menolak atau ia memang ingin mengikuti keinginan si gadis. Dia tidak tahu—tidak sepenuhnya yakin. Namun, satu hal yang pasti, Taehyung harus tahu siapa saja yang berada di sana. Dia harus bisa memastikan bahwa namanya atau nama keluarganya tidak berada di sana. Well, atau namanya sendiri, tentu saja.

Jadi, tatkala pintu terayun terbuka, melangkah tergesa seolah iblis berada di belakang tubuhnya, si Kim tersebut buru-buru menggeledah seisi ruangan dengan gesit. Di mana Jian menyembunyikannya? Bagaimana jika gadis itu membawanya pergi?

Sekelumit asumsi tersebut semerta-merta menjadi pukulan yang membuat jantung Taehyung mencelos. Jika memang benar, maka sia-sia saja ia mencari. Apalagi setelah bermenit-menit menyingkap tumpukan buku, membuka tutup laci-laci nakas, bawah ranjang, celah-celah kecil—sial, hasilnya nihil. Jian barangkali tidak seceroboh itu. Gadis tersebut pasti membawa kertas sialan itu bersamanya. Taehyung sudah berulang kali menghubungi Minhee, tetapi ia juga tidak mendapatkan jawaban barang sedikit pun.

"Sial," bisiknya. "Di mana kau menyembunyikan kertas sialan itu?"

Saat hendak membuka lemari guna menggeledah isinya lebih jauh, Taehyung sedikit terkesiap tatkala mendengar suara janggal yang mendadak terdengar. Berkeriut. Kasar. Seolah meronta-ronta. Lalu sedetik kemudian si Kim tersadar bahwa itu berasal dari bawah ranjang.

Tubuh Taehyung mendaak membeku, kepalanya perlahan dipalingkan menahan ngeri. Kalau saja ia sebelumnya sengaja membiarkan televisi di ruang tengah menyala, barangkali ia tidak akan mempedulikan apa yang ia dengar—suara garukan di dalam sana, seolah seseorang atau sesuatu tengah mencoba merangkak keluar. Namun, tidak. Taehyung yakin betul bahwa TV masih dalam keadaan mati, tidak ada orang di rumah, dan demi apa saja, sesuatu yang menimbulkan bunyi itu pasti hidup. Atau setidaknya, dikategorikan hidup.

Ayah?

"Taehyung?"

Pemuda itu mendadak melebarkan netranya. Keringat dingin merembes turun melewati profil wajah, mengirimkan geliut ngeri besar yang melilit dadanya. Suara itu—suara itu. Itu suara Ayah. Namun, seolah apa yang didengarnya tak cukup, seolah suara mimpi buruknya itu tak menakutkan, Taehyung merasakan punggungnya semakin menggerus permukaan lemari saat ranjang bergetar hebat. Sudut-sudutnya menghantam dinding, menciptakan suara debum besar yang memekakkan telinga.

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang