Chapter 18

507 87 1
                                    

Sekarang pukul tiga pagi. Jian mengusap cermin kamar dari uap bak mandi dan menghela napas.

Aroma frankincense tersebut seolah tengah berlomba dengan bau likuid merah yang kini sedang merembes keluar—mengalir turun secara perlahan sementara gadis tersebut menatap pantulan wajahnya di dalam cermin dengan kebencian yang berpendar samar. Kepul uap dari bak mandi yang diisi air hangat, botol minyak esensial, Jian hanya terdiam dengan tubuh telanjang sementara sisa-sisa air menetes dari ujung surai yang basah.

Seluruh inci dari fisiknya terasa luar biasa sakit.

Si Jeon bungsu itu agaknya memerlukan lebih banyak waktu untuk menarik napas yang seolah tersekat di kerongkongan, menyambar selembar handuk basah untuk mengusap darah dari lehernya yang kembali keluar sebelum mereka mulai menganak sungai. Aromanya kental, jadi gadis itu sengaja menumpahkan lebih banyak minyak dari dalam botol ke dalam wastafel—menghapus jejak bau tersebut, menggantinya dengan wangi baru yang memabukkan. Rasa sakitnya benar-benar terasa. Berdenyut hebat dan Jian menerka-nerka apakah Woori merasakan sensasi ini sebelum ia tewas dengan tubuh yang mengejang hebat.

Dengan perlahan membilas kembali handuknya, memasukkan benda tersebut ke dalam plastik dan tong sampah, Jian kemudian menyambar handuk untuk membalut tubuh sendiri. Netranya mengedip sekali tatkala menyaksikan luka lebar pada leher yang kembali menutup perlahan, memastikan tidak ada darah lagi dan hendak melangkah pergi sebelum mendadak membeku; mendengar sebuah suara menyambar gendang telinganya, "Lihat apa yang sudah kau lakukan."

Ah, sial.

Satu kekehan semerta-merta bergema—mengejek, merendahkan. Suaranya membuat perut Jian bergolak mual. Mengingatkannya kembali pada masa-masa kelam dulu; pada ruang bawah tanah itu, pada rasa sakit dan seluruh percobaan tersebut. Namun, mengalihkan pandangan, si gadis hanya mengerjap. Langkahnya terhenti, pandangannya mati. Memutar tubuh dan lantas mendongak menatap bayangan gelap setinggi langit-langit kamar mandi, Jian menyaksikan bagaimana makhluk di hadapannya perlahan mentransformasikan diri menjadi sosok yang ia kenal dengan pasti.

Jeon Jungkook.

Tidak. Itu bukan Jungkook. Jian merasakan perutnya semakin mulas. Itu hanya kamuflase. Iblis selalu pandai berkamuflase—mengacaukan isi kepalanya.

"Ekspresi itu," katanya. Senyum miring terpatri meremehkan. Jian bisa merasakan seluruh tubuhnya meremang tatkala dihampiri, ditangkup pada pipi dengan cengkeraman kuat dan lawan bicaranya melanjutkan, "Kau selalu memasang ekspresi rumit tiap kali aku berubah menjadi kakakmu."

"Saya hanya sulit terbiasa melihatnya."

Jungkook tersenyum tipis. Kalau saja Jian tidak melihatnya berubah, untuk sekilas gadis itu pasti percaya saja bahwa lawan bicaranya memang si Jeon sulung. Namun, tetap menatap tanpa ekspresi, ia mendengar kembali, "Jian, kau seharusnya tak perlu merasakan sakit ini setiap pagi jika kau menghabisinya dengan kedua tanganmu sendiri."

Jian mendengkus menahan tawa. "Setidaknya kebodohan ini bisa mengambil keputusan yang tepat," sahutnya serak, menatap lurus. "Tuan Azazel sendiri yang berkata bahwa semuanya memiliki harga yang harus dibayar. Anda tidak berpikir saya akan menggunakan semua yang sudah saya dapatkan sejauh ini secara sembarangan, bukan?"

"Jiwamu akan terbakar di dalam neraka selepas kematian datang, Jian."

"Bukan hal yang mengejutkan." Si gadis tersenyum tipis. Wajahnya setenang air telaga. "Itulah kenapa saya berusaha sekeras mungkin agar tidak mati, Tuan."

Seulas senyum mematikan mendadak merayap di wajah pemuda di hadapannya. Ia jelas bersenang-senang—selalu ada di sana menunggunya membuat keputusan yang salah. Dengan deguk suara seolah baru saja menelan saliva, gadis itu menatap Jungkook di hadapannya perlahan berubah menjadi kabut dengan suara bergema dalam hening, "Kalau begitu lakukan. Mari kita lihat sejauh apa kau akan melangkah dan menghancurkan hidup semua orang."

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang