Jeon Jungkook pernah berkata, meski Jian tidak menempelkan stiker namanya atau minimal kertas bertuliskan namanya yang diselotip pada permukaan benda-benda tertentu di rumah, pemuda itu selalu tahu milik siapa barang tersebut. Kalau ditanya, kenapa, sebab corak serta warnanya seperti Jian; sederhana dan hampir selalu berwarna pastel, fungsinya seperti Jian; terkadang agak aneh tetapi memang dibutuhkan, bahkan aromanya juga seperti Jian; menggelitik hidung dan dadanya. Jadi, tatkala menemukan selembar handuk berwana peach yang tergeletak di depan kamar mandi, Jungkook mau tak mau jadi keheranan.
Kenapa Jian meletakkannya di sini?
Namun, otaknya seperti mendadak berhenti berfungsi—jelas tidak bisa berpikir dengan baik. Tahu momen dimana kau membuka terlalu banyak aplikasi di komputer dan sistem mendadak berkata 'not responding' begitu? Nah, kira-kira semacam itulah keadaannya. Apalagi tatkala nyeri di kepala berdenyut-denyut semakin hebat, Jungkook hanya bisa meringis menahan sakit. Semalam dia sebenarnya menenggak berapa gelas, sih? Apa yang sudah terjadi? Hal terakhir yang ia ingat hanyalah wajah Jian yang diselimuti teror dan Jungkook mengasumsikan secara sederhana, gadis itu menolongnya. Sial. Seharusnya ia tidak mengiyakan ajakan Minhee.
Menyeret langkah terpatah-patah ke dapur, menyambar sebotol air dari dalam kulkas dan meneguknya lambat, Jungkook lantas mengerjap dua kali saat menatap melalui jendela untuk menemukan Mama menghampiri sebuah mercedes terparkir di sisi jalanan di depan rumahnya. Tepat pada pukul sembilan lebih lima belas menit, seorang pria muncul dari sisi pintu kursi pengemudi—pria yang bahkan belum pernah Jungkook lihat sebelumnya, mengatakan sesuatu untuk beberapa saat dan keduanya lantas menghilang ke dalam mobil dan melesat begitu saja.
"Kau berhutang banyak padaku, Jung," sambar seseorang, sukses membuat Jungkook memalingkan pandangan dan semerta-merta mendadak tersenyum tipis. Pemuda itu bersandar pada wastafel, menatap Jian yang kemudian melangkah memasuki dapur dengan celana pendek dan kaus putih kebesaran. "Aku tahu kau terkena demam dan bisa saja bertingkah merepotkan. Tetapi aku tidak pernah menduga kalau kau bisa membuat orang benar-benar kerepotan setengah mati."
Jungkook tertawa pelan. Ia lantas melangkah kaki dan mendudukkan diri di kursi meja makan. Tanyanya sambil menelisik Jian yang bergerak memasukkan sebuah mangkuk ke dalam microwave, "Jadi? Maukah kau menjelaskan padaku tentang apa yang terjadi semalam?"
"Tidak juga."
"Jian—"
"Tidak ada hal baik yang terjadi, tentu saja." Gadis itu terang-terangan memandang dengan presentase jengkel sebanyak 99% saat melanjutkan, "Lagi pula apa yang kau pikir sedang kau lakukan di pesta seperti itu dengan keadaan tak baik? Jimin berkata Minhee membuatmu pergi ke sana. Itu tidak salah?"
"Tidak."
"Jadi, gadis itu benar-benar—"
Jungkook buru-buru menukas, "Tidak, tidak. Jangan salahkan dia. Aku tidak mau kau pergi menjambak rambut Minhee atau membunuhnya. Aku yang bertanya apa ada sebuah pesta yang bisa didatangi dan gadis itu pun awalnya juga tidak ingin pergi ke sana. Aku mati bosan karena kau tidak ada di rumah."
"Karena aku tidak ada di rumah?"
"Ayolah, Ji."
Jian menekuk kedua tangan di perut, mendadak mendecakkan lidah. Gadis itu sebetulnya sudah siap dengan seribu ultimatum yang bisa dilemparkan untuk meledak begitu saja. Namun, menemukan bagaimana Jungkook menatapnya dengan wajah pucat dan bibir berkedut sesekali menahan nyeri di kepala, ia jadi mengurungkan niat. Kejengkelan dan sisa kecemasan hebat semalam jelas masih terasa di dalam jiwanya. Ia takkan lupa tentang perasaan ngeri dan tersiksa saat menemukan Jungkook berada di dalam bathtub. Namun, sial, kenapa ia jadi mendadak luluh lantak kalau sudah berhadapan langsung begini?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Issues
FanfictionJika dilihat sekilas saja, tak ada yang mengira bahwa ada yang salah dengan Jeon Jungkook serta Jeon Jian. Kedua bersaudara tersebut terlihat sebagaimana wajarnya seorang kakak dan adik perempuan. Namun apabila diperhatikan sedikit lebih cermat, kau...