Chapter 17

602 95 2
                                    

The following part of the story might be quite disturbing for some readers.

***


Bagaimana caranya agar dapat terbebas dari tempat ini?

Ruangan persegi gelap tersebut tampaknya diisi sebuah ranjang rumah sakit bekas dengan seprai yang nyaris menyerupai warna lumpur. Cahaya matahari hanya sanggup merangsek melalui celah kecil jendela yang tidak tertutup palang kayu. Jaring laba-laba di setiap sudut, lantai berdebu, dindingnya lembab, serta suara tetes-tetes air terdengar bergaung dalam hening—berasal dari pintu kamar mandi sempit yang pintunya dibiarkan terbuka lebar.

Jika malam tiba, angin biasanya menerobos, hampir seperti berusaha menelisikkan jemari berkukunya melewati retakan dinding yang bisa disusupi, menusuk kulit yang hanya dibalut satu gaun tidur putih selutut tipis. Bahkan tak bisa menarik napas guna mengisi paru-paru dengan udara segar, Jian menghirup aroma apak seraya menatap kosong pada seisi ruangan dengan pandangan mati.

Gadis itu menekuk lutut. Napasnya terdengar berat, tersendat lambat-lambat. Ia terduduk di sudut ruangan dengan rasa lapar yang meradang, berusaha tidak kehilangan kesadaran sebisa mungkin—berusaha tak kehilangan kewarasannya sebaik mungkin. Kenapa? Apa salahnya? Dulu tidak begini. Seingatnya dulu semua tidak begini. Terlebih lagi, kapan? Kapan Ayah akan datang dan membawakannya makanan? Ini sudah ..., berapa hari?

Jian lantas bangkit perlahan-lahan. Surai gelap gadis itu dibiarkan terjuntai berantakan, ujung bibirnya membengkak bersama darah yang mengering karena bekas hantaman. Sekujur kaki yang dipenuhi lebam, tulang belakang terasa patah. Denyut nyeri tersebut hampir tak lagi bisa dirasakan. Jian bahkan tak ingat kapan terakhir kali ia menangis karena menahan sakit fisik yang terus menjalar; tangan, kaki, sendi, kepala. Semuanya kebas, semuanya hancur berantakan. Namun, ia tetap menyeret langkah menuju kamar mandi, perlahan-lahan mengambil setangkup air untuk diteguk perlahan.

Sial, wajahnya mendadak berjengit. Gadis itu berjalan limbung, tertatih menekan bobot tubuh pada dinding sebelum jatuh tersungkur di sisi ranjang. Mencengkeram perut sekuat tenaga tatkala merasakan perih melilit yang kembali mengoyak, kesadarannya lantas berputar samar—kapan? Sampai kapan ia harus terus menahan semua ini?

Jian mendadak menahan napas. Tepat sedetik kemudian tatkala mendengar suara keriut engsel pintu yang terbuka, jantungnya berdegup, napasnya seperti tersekat di kerongkongan bersama ngeri yang kini merayap ke dalam telapak tangan serta kaki. Harapan, rasa takut, keinginan; semua hal tersebut beradu menjadi satu kesatuan mengerikan. Teror ini ada. Mereka absolut dan nyata.

Gadis itu bahkan tak bisa untuk tidak terkesiap. Irisnya melebar menatap lantai yang terasa sedingin balok es, cahaya belari memasuki ruangan tatkala seseorang menyambutnya di sana. Apalagi tepat saat memalingkan pandangan, ia dapat melihat seseorang berdiri di ambang pintu sementara Jian bergumam begitu lirih dengan suara mencicit, "Ayah—"

"Ayah?" balasnya, terheran-heran. Pria tersebut tertawa pelan, melangkah lebih dekat seraya menutup pintu di belakang punggung. Jian menggigit bibir, menggeleng memohon maaf, mengerut ketakutan di atas lantai. "Kukira aku sudah mengajarimu dengan baik. Tapi maaf, ternyata belum sama sekali, ya?"

Ah, benar. Apa yang diharapkannya? Apa yang ia harapkan bisa terjadi dalam keadaan seperti ini? Dalam satu detik singkat sebelum gadis itu sempat menjerit, jemari sang lawan bicara telah menjenggut surai, ditarik paksa dengan kekuatan penuh sebelum dihantamkan pada lantai dan ditindih menggunakan kaki tepat pada leher. Jian membuka mulut, berusaha bernapas, menggelinjang dan berusaha bertahan—tetapi tiap satu erangan kecil meluncur keluar dari bibirnya, kaki berbalut sepatu kulit tersebut semakin kuat menekan leher dan bergumam begitu lirih, "Sebutkan panggilan yang tepat, Jian."

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang