Chapter 09

746 134 2
                                    

Aku menyebutnya karma dan Jeon Jungkook menyebutnya pembalasan.

Kepala serta logikaku seolah baru tersadar tentang betapa menyebalkannya pemuda tersebut saat ia benar-benar jatuh sakit dan menyalahkanku karena dianggap sebagai pembawa malapetaka. Dia memang tidak mengatakannya secara spesifik, tetapi terus berkata bahwa aku sudah melukainya. Kami berdua sama-sama berada di sebuah titik di mana tak ada yang mau berada di pihak yang 'merasa kalah dengan keadaan' dan aku berusaha mempertahankan posisiku.

Sayangnya, Jungkook ini jelas tahu bagaimana cara membuat kuasanya menjadi lebih tinggi, sebab dengan suhu tubuh yang meninggi dan wajah pucat, dia masih bisa berkata, "Jian, buatkan kakak tersayangmu yang sedang sakit ini bubur ayam, ya."

Aku menatap tak percaya. "Sekarang masih jam lima pagi, Jeon."

Gerutuan terdengar sekilas. Dia tetap menambahkan sambil bergelung di atas ranjang, bergumam tak jelas, "Kalau bisa yang dipenuhi cinta dan kasih sayang juga. Hatiku sedang tidak sehat."

Itulah titik dimana aku berusaha menahan diri untuk tidak mencampurkan racun tikus ke dalam buburnya dan terpaksa berkutat di dapur setelah membereskan diri. Sialnya, kepala ini sontak mendadak kembali memikirkan apa yang terjadi kemarin—saat ia terpaksa pergi meninggalkanku bersama Taehyung, ekspresi marah, jelas tidak setuju serta air mukanya ditekuk muram. Seulas senyum lebar penuh makna yang Taehyung lemparkan tidak membantu, jadi secara sederhana, kurasa Jungkook memang sedang mencoba membalas apa yang sudah kulakukan.

Sial, memang.

"Jian, kau punya kelas hari ini?" sebuah suara membuatku memalingkan wajah saat sudah memindahkan bubur ke dalam mangkuk. Menemukan Mama melangkah masuk ke dalam dapur, wanita tersebut bertanya kembali, "Buburnya untuk siapa? Masih sakit, ya? Tidak enak badan?"

Oh, benar. Aku mengerjap, seolah baru menyadari kalau pening di kepala sudah jauh mereda. Hidungku masih sedikit tersumbat, pelipis masih sedikit berdenyut. Paling tidak, aku memang sudah membaik. Namun, saat menyadari Jungkook pasti akan membuat banyak alasan untuk menyiksaku, kuhela napas dengan berat, menyahut, "Aku sudah baik-baik saja, Ma. Tapi Jungkook sepertinya tertular. Kenapa, sih, kalau sakit dia berubah manja seperti bocah lima tahun begitu? Padahal demamnya juga tidak begitu tinggi."

Mama terkekeh. "Dari dulu, 'kan, memang sudah begitu."

Bibirku mengerucut protes. "Benar, sih. Tapi tetap saja."

Aku kemudian menyadari bahwa Mama terlihat sudah siap pergi bekerja pada pukul setengah delapan pagi, lengkap dengan setelan blouse biru yang berwarna senada dengan rok selutut. Seolah bisa membaca isi kepalaku, wanita tersebut lantas mengerling lucu dan melanjutkan, "Ya sudah. Kalau memang kerepotan, nanti Mama akan menghubungi Minhee untuk datang dan mengurus kakakmu. Hari ini ada kelas, tidak?"

"Ada. Ta-tapi aku bisa mengurus Jungkook, Ma. Tidak perlu memanggil—"

"Eiy, kakakmu sudah membolos kemarin. Kau juga. Setidaknya salah satu dari kalian berdua harus hadir hari ini." Mama tersenyum tipis. "Lagi pula, Mama hanya tidak ingin kau gagal dalam mata kuliahmu. Kalau itu Jungkook, dia pasti bisa mengejar ketertinggalannya."

Ah, tentu saja.

"Iya, ya," sahutku, mengedip sekali. "Oke."

Mama menaikkan satu alis, terlihat tidak yakin. "Kau baik-baik saja, Sayang?"

"Iya."

"Sungguh?"

Aku mengangguk. "Iya, Ma."

Mama terlihat membutuhkan lebih banyak bukti saat bertanya kembali, "Bagaimana kabar Taehyung? Kalian berdua tidak ada masalah, bukan?" Ia menjeda sejenak, membuka lemari pendingin dan mengeluarkan roti tawar untuk dimasukkan ke dalam toaster. Sebelum bibirku sempat menjawab satu kata pun, Mama sudah menyahut lagi, "Tetapi kalau semisal memang ada masalah, jangan terlalu melarutkan diri ke dalamnya. Kau bisa berkencan dengan seseorang, tentu saja. Mama mengerti. Tetapi tetap fokuskan tujuan utama kepada studimu, oke? Jangan sampai gagal lagi karena hal yang tidak begitu penting."

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang