Chapter 19

518 90 2
                                    

Nyaris. Nyaris saja sebuah umpatan melesat keluar dari kedua belah bibir Jungkook.

Pemuda itu barangkali hendak mengatai Park Jimin kalau ia tidak ingat bahwa itu bisa membuatnya terjebak masalah konyol. Melirik jam dinding yang berdetak di angka sembilan pagi, bersyukur bahwa hari ini ia tidak memiliki kelas untuk dihadiri, Jungkook merasakan kepalanya berkedut. Ia kemudian bergerak menyentuh pelipisnya, mengusap wajah lalu perlahan meloloskan satu hela napas berat. Ini gara-gara mimpi aneh semalam. Kalau bukan karena itu, dia pasti bisa terlelap dengan nyaman dan—

"Jungkook?" Jimin mendecakkan lidah, memotong isi kepalanya. "Kau mendengarku atau tidak?"

"Bung, ayolah. Aku baru saja tertidur selama kurang dari dua jam setengah." Pemuda tersebut mendadak mengerang. Ia membalikkan tubuh, membenamkan wajah di dalam tumpukan selimut seraya menempelkan ponselnya di telinga.

Meski kesulitan menahan kantuk setengah mati, si Jeon itu masih bisa mendengar Jimin yang kemudian mengumpat pelan di ujung telepon sebelum berkata, "Aku melihat Taehyung dan adikmu membolos bersama. Jadi, apa kau akan membuka mata dengan benar atau hanya bergelung di atas ranjang?"

Tunggu, apa?

Jungkook terkesiap. Ia semerta-merta membuka kedua mata dengan lebar, mengangkat kepala dalam satu singkat saat menyahut kembali, "Tunggu, tunggu. Apa maksudnya?"

"Lihat?" Jimin membalas gemas. "Makanya dengarkan aku kalau aku sedang bicara!"

"Ah, sial."

Berusaha mengumpulkan kesadaran, mendesah berat, dan perlahan bangkit dari atas ranjang dengan lambat, pemuda itu bahkan belum sempat membalas ketika lawan bicaranya sudah keburu menyahut lagi—suaranya awas, cemas, gelisah—dan sukses mengundang Jungkook untuk mengerutkan kening tak mengerti. Tentu saja. Jungkook tahu benar kalau Jimin bukan tipikal seseorang yang mudah diserang rasa panik, itu jelas. Si Park itu bahkan bisa bersikap kelewat santai meski terlambat memenuhi tugas yang diberikan dosen, mendapatkan ancaman nilai C,  atau bahkan gertakan tak lulus. Jadi, mendengarnya kelabakan seolah seseorang sedang berusaha menghabisinya itu agak terdengar ..., menakutkan?

"Aku mungkin salah melihat. Entahlah," ujar Jimin sesaat kemudian, mendesah perlahan. Napasnya seperti tersekat di kerongkongan. "Pokoknya, mereka berdua tidak bisa kutemukan di mana-mana. Taehyung seharusnya berada di kelas tadi bersamaku. Tetapi aku malah melihatnya pergi dengan seseorang dan itu—"

"Jian?"

"Kurasa?" Jimin bungkam sejenak dan Jungkook mendadak mendengarkan dengan begitu serius saat menatap kosong selimutnya. "Juga, Jungkook? Aku tahu aku seharusnya mengatakan ini lebih cepat, tapi—"

Jungkook berdeham. Sial. Kenapa ini mendadak jadi tidak terasa nyaman sama sekali? Bahkan untuk beberapa alasan yang tak bisa ia jelaskan dengan benar, rasa ngeri seolah perlahan merayap ke permukaan kulit, menggiringnya membalas dengan sebuah bisikan ragu, "Tapi apa? Kenapa?"

"Insiden di kafetaria, aku juga berada di sana. Jian terlihat aneh. Taehyung juga. Hal yang sama bahkan terjadi di pesta. Atmosfer itu, Jeon. Tidak berbeda. Jian dan Minhee, mereka berdua—ah, tidak, tidak. Aku tidak bisa membicarakan ini di sini."

Jungkook jadi gemas ingin mencekik Jimin melewati ponsel. "Sial. Kenapa tidak?"

"Pokoknya, hubungi Jian secepat mungkin. Tanyakan dia sedang berada di mana. Kau kakaknya. Tidakkah kau merasakan sesuatu yang berbeda darinya belakangan setelah menemukanmu terkapar malam itu di pesta?" Jimin menurunkan nada bicaranya, terdengar tak nyaman. "Jeon, bahkan aku saja tersadar. Kenapa kau seolah sengaja membutakan diri dengan fakta bahwa memang ada yang salah dengan adikmu?"

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang