Chapter 13

695 110 1
                                    

Rasanya seperti separuh hidup; juga separuh mati.

Menarik napas, mengerjapkan mata yang menolak terpejam sejak dua jam yang lalu, Jungkook lantas membalikkan tubuh di atas ranjang, berbalik telentang menatap gelap yang mengisi seluruh ruangan. Pemuda itu bernapas teratur, kepalanya setengah melompong—sisanya berkecamuk seperti badai yang menerjang habis-habisan di luar sana.

Hujan terdengar menggelegak dalam amarah yang luar biasa, entah siapa yang membuatnya begitu murka. Terlebih lagi terjebak dalam kondisi sedemikian rupa, listrik yang padam sejak tadi juga sukses membuat Jungkook seperti sedang dimasukkan ke dalam peti mati dan dikubur hidup-hidup. Penerangan cahaya pun hanya berasal dari lantai satu, lampu portable yang barangkali cuma bisa bertahan selama kurang dari satu jam lagi serta kilat pada langit yang diikuti gelegar guntur yang bergemuruh.

Well, kalau sudah begini artinya hanya tinggal menunggu waktu sampai seisi rumah berubah menjadi gelap total. Mama bahkan tadi hanya memanggilnya sekali untuk menyalakan lampu di lantai satu tersebut sebelum berpesan agar segera kembali tidur. Sayangnya, Jungkook benar-benar tak bisa memejamkan mata dan dibuai mimpi. Sial. Ia harusnya tidak menghabiskan siang tadi dengan tidur seperti orang mati.

Tapi kira-kira, Jian sudah terlelap belum, ya? Gadis itu sama sekali tidak terlihat batang hidungnya bahkan saat listrik padam. Biasanya dia langsung pergi keluar kamar untuk mencari tahu ada apa. Haruskah ia pergi mengeceknya?

Menopangkan pergelangan tangan pada dahi, menarik napas dan menghirup petrikor yang samar-samar merangsek masuk ke dalam ruangan, Jungkook lantas lebih memilih untuk memaksa diri agar memejamkan mata. Biarkan saja, sepertinya. Ia tidak ingin mengganggu gadis itu kalau-kalau memang sudah terlelap. Apalagi tepat setelah Jungkook berpikir begitu, cahaya samar yang terbias di bawah pintu kamarnya mendadak lenyap—menandakan bahwa lampu portable di lantai satu sudah sepenuhnya kehabisan daya.

Duh, kalau begini, sih, mau memejamkan mata atau tidak juga sama saja; sama-sama gelap.

Kantuknya pun masih belum mau datang.

Namun, tatkala Jungkook nyaris kembali mengganti posisinya di atas ranjang, pemuda tersebut terkesiap lambat. Ah, ini tidak bagus. Sama sekali tidak. Berpacu dengan suara hujan serta halilintar, menderu bersama gores ranting pohon yang mengetuk jendela, Jungkook mendengar pintu kamar yang berkeriut terbuka dan satu suara menyambar telinga, "Jeon?" panggilnya. Nada bicara lirih setengah merengek lembut itu seratus persen sukses membuat Jungkook berdesir untuk sesaat. "Listriknya padam, ya? Aku terbangun."

Jungkook mendadak menahan napas—ia bahkan tidak tahu kenapa harus menahan napas. Namun, tubuhnya bergerak reflektis, setengah bangkit, berusaha menemukan sosok dalam kegelapan total yang diduganya sedang berada di ambang pintu. Meneguk saliva gugup, si Jeon sulung tersebut lantas bertanya pelan, "Aku belum tidur. Listriknya memang sudah padam sejak tadi."

"Ada suara aneh di dalam kamarku."

"Itu hanya suara hujan, Ji."

Hanya suara hujan. Benar.

Saat Jungkook menunggu balasan, gadis itu malah mendadak terdiam. Jian barangkali juga tidak bisa melihat di mana posisi lawan bicaranya, tetapi gadis itu tahu bahwa sang kakak memang ada di sana—tengah berusaha menemukannya juga. Menatap ke dalam gelap, mendengar adiknya menarik napas dan melangkahkan kaki masuk, Jungkook bisa merasakan degup jantungnya meningkat tatkala mendengar pintu yang tertutup dan langkah kaki lambat yang menghampirinya dengan perlahan.

"Jian?"

"Jung," balasnya. Gadis itu berhenti melangkah—perlahan meraba ke dalam udara, menemukan ujung lengan kaus Jungkook saat melanjutkan dengan bisikan lirih, "Biarkan aku tidur di sini untuk satu malam saja, ya?"

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang