Chapter 25

507 83 1
                                    

Suara Jian hampir tersendat di kerongkongan ketika bertanya, "Kenapa kau ada di sini?"

Hela napas lantas diembuskan kasar. Pemuda itu menarik maskernya, menaikkan satu alis di bawah tudung topi. Sepasang mata sama yang kerap Jian tatap, kini sekilas berubah kelabu gelap yang meredup. "Justru aku yang harusnya bertanya." Ia melepaskan topinya, mengerutkan kening. "Kenapa kau bisa berada di sini dengan Park Jimin?"

Jimin tersenyum gugup. Untuk beberapa alasan irasional malah tak bisa berkata-kata. Ada sesuatu yang tak biasa dengan Jeon bersaudara setelah beberapa hari tak ditemuinya. Ada apa? Berkelahi? Jimin sudah berulang kali menemukan saudara setengah darah ini saling adu mulut, mencaci—yang kebanyakan dilakukan Jian, memang—tetapi tak sekali pun ia menemukan sesuatu seperti sekarang. Atmosfernya terasa lebih berat, lebih kelam.

Entah mengapa.

Menyadari Jian berada di hadapannya dengan raut wajah gelisah, dengan kalem ia lantas menjelaskan janji temunya yang batal terjadi dengan Taehyung, menemukan si Jeon bungsu yang ternyata dibuntuti Jungkook dan secara refleks memanggilnya. Namun, mendengar Jungkook menyanggah, kini Jian merasa kepalanya berkedut nyeri.

Perutnya seperti baru saja dibalik dengan satu hantaman cepat tatkala Jungkook kembali menukas, "Aku tidak datang bersama Jian. Aku baru saja kembali dari rumah Hwasung dan sengaja mampir kemari untuk membeli kentang goreng." Jungkook menatap Jian lurus-lurus dengan pandangan dingin. "Apa yang kau lakukan malam-malam di sini? Setelah semuanya?"

Wow, oke. Apa maksudnya?

Jimin semerta-merta berdeham canggung. Ia barangkali hendak bertanya mengapa Jungkook mendadak bertemu dengan Hwasung—yang memang rumahnya berada di sekitar sini. Namun, mengingat kedua pemuda itu berada dalam satu organisasi sama, Jimin memutuskan untuk tak mengulik lebih jauh. Mungkin lebih baik jika dia diam. Mungkin lebih baik jika dia berusaha menepis suasana yang kini semakin menyakiti kerongkongannya. Jadi, mencoba meluruhkan ketegangan, Jimin berkata resah, "Santai sedikit, Bung. Ada apa denganmu? Sudah beberapa hari aku tak melihat kalian berdua. Jangan bicara sedingin itu terhadap adikmu sendiri. Barangkali Jian juga memiliki sesuatu yang harus dilakukan di sekitar sini. Iya, 'kan, Ji?"

Jian melepaskan cengkeraman tangannya pada lengan yang kini terasa ngilu. Apa yang Jimin ucapkan mendadak mengantarkannya kembali ke realita—titik di mana ia terdiam kehilangan seluruh kompilasi rencana dalam kepala, tersenyum kecut tatkala membalas apa adanya, "Iya."

Namun, itu tetap tak menghapus tatapan muram Jungkook. Bahkan tidak setelah mereka bertiga berpisah dan keduanya kembali ke rumah Taehyung. Kakaknya hanya mencetuskan kalimat sederhana sebelum ia pergi masuk ke dalam kamar, "Jam delapan, besok pagi. Aku akan mengajakmu pergi ke suatu tempat. Jangan mencari alasan untuk menolak. Aku tetap akan menyeretmu meski kau tidak mau."

Well, Jungkoook memang tidak menyeretnya. Sebab Jian sudah menanti sejak pukul setengah delapan pagi karena tak bisa terlelap. Taehyung sempat bertanya, tapi Jian juga tak tahu kemana Jungkook akan membawanya pergi. Isi kepalanya setengah kosong.

Namun, terakhir kali gadis itu menatap, deret-deret bangunannya seperti sedang berlari di luar jendela bus. Untuk beberapa alasan, hal tersebut membuatnya teringat pada kenangan lama yang silih berganti menancap di dinding memori, dipaku kuat oleh rasa bersalah serta bayang gelap ketakutannya sendiri—tepat sebelum sebuah suara menyerang tanpa ampun, bergema dan menghantam dinding kepala, "Semua yang kau lakukan sia-sia saja," katanya. "Pemuda itu akan menolakmu. Semua orang akan menolakmu. Kau dilahirkan karena sebuah kesalahan. Tidak ada yang menginginkanmu."

Tidak.

"Kenapa tidak menyerah saja? Tepati janjimu padaku."

Si gadis meludahkan kesengitan. "Lantas kenapa tidak kau sendiri yang datang dan mencoba menghentikanku langsung?"

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang