*ilustrasi rambut si Byan.
Asik, sapa kangen By???🙋🏼♀️🙋🏼♀️🙋🏼♀️
****
Byan mengantuk.
Itu yang bisa Liana tebak dari segala keresahan mendadak anak itu, matanya sedikit tertelan tapi sang empu masih berusaha keras untuk tetap membukanya lebar-lebar sambil memperhatikan sekitarnya dengan wajah yang sudah tak bisa dikatakan riang.
Liana sengaja tak menebaknya langsung karena Byan harus belajar untuk mengutarakan dirinya lebih baik. Jadi sejak mereka selesai makan siang di salah satu stand yang masih berada di kawasan kebun binatang itu Liana membiarkan Byan dengan kegundahannya. Ia akan melihat sampai mana anak itu akan terus memaksa dirinya hingga batas yang Liana yakin dapat menyebabkan ledakan di dalamnya.
Sejak pagi mereka sudah berkeliling kebun binatang di pusat kota, Byan jelas yang paling semangat karena semua yang ia lihat sangat baru untuknya. Byan bahkan meladeni tawaran kakak-kakaknya agar mau berjalan beriringan dengan mereka karena Andrew maupun Liana tak begitu terburu-buru dengan langkah mereka, sedangkan Byan sudah menghentakkan kakinya lebih semangat karena tak sabar melihat semua yang bisa ia temukan di sana.
Terik matahari berhasil dilaluinya, dengan sebuah bando berbentuk tanduk dan telinga jerapah menghiasi tatanan rambut berkuncir kuda yang mereka sempat beli di sana Byan bisa melewati hari dengan sangat ceria, keringat yang membasahi anak-anak rambut juga dahinya sama sekali tak membuatnya mengeluh dan tetap berjalan dengan mulut yang tak henti-hentinya bergumam kagum.
Keenan, Genta dan Sean jelas dengan senang hati menuntun adik mereka, Byan jarang-jarang mau dioper sana sini jika ibu mereka ada di sana, tapi kali ini, karena Liana dan Andrew tampak menikmati reaksi Byan dan tak berniat untuk memonopoli Byan untuk diri mereka sendiri jadi Byan mau tak mau mendekat ke kakak-kakaknya karena mereka tampaknya begitu mengetahui seluk-beluk tempat menakjubkan itu.
akhir pekan yang menarik, rencana ini memang datang sangat tiba-tiba karena Liana mempertimbangkan minggu-minggu Byan yang akan padat kedepannya karena latihan untuk tim sepak bolanya.
Tak ada yang akan mengira jika anak yang begitu jelita dengan parasnya itu ternyata secret weapon dalam tim sepak bola yang terisi dengan 99% anak lelaki yang bahkan lebih tinggi darinya. Liana juga masih tak habis pikir.
"By, kamu mau ke sana??" Genta menunjuk sebuah danau kecil yang di pisahkan sebuah jembatan yang bisa mereka lewati, ada angsa putih yang cantik. Byan yang sejak selesai makan siang berada di gendongan Liana hanya melirik sedikit, pipinya masih betah didempetkan ke bahu sang ibu.
Liana berbicara lewat raut wajahnya, ia berbisik kata 'ngantuk' dan ketiga anak bujangnya hampir mengangguk mengerti bersamaan. "Pantes.." Keenan menutupi jalan sinar matahari yang menyorot ke wajah Byan.
"Kita gak udah aja mom?"
"Dia belum bilang mau udahan, kita tunggu dulu. Nanti dia yang kecewa kalau pulang gak pake persetujuannya." Liana memperhatikan ke sekitar, tadi Andrew pergi sebentar untuk mengangkat panggilan dari sekretarisnya dan mereka berakhir berteduh di bawah salah satu pohon rindang dekat taman.
Sean, melihat kaki Byan yang sudah tak memeluk pinggang mommanya, kaki itu sudah menggantuk seakan sang pemilik memang meninggalkannya di sana. Byan masih nyaman dengan posisinya meski pun beberapa kali menggati posisi agar mendapat tempat nyamannya. Namun suasana kebun binatang yang semakin siang justru semakin ramai membuat siapapun yang berada di sana tak akan suka jika harus tertidur di tengah-tengah.
"By? Kamu mau liat angsa?" Byan menggeleng, gelengannya tak santai. Wajahnya kini terbenam di perpotongan leher Liana.
Ada satu merak yang berjalan di tengah, melewati mereka, Sean menghentakkan kakinya hingga burung itu berjalan tergesa.
"Liat By, merak! Waah, cantik sekali bulunya.." Liana mencoba mengangkat kepala Byan agar menghadapnya.
"Ackh.. noo." Akhirnya suaranya terdengar, gumaman itu terasa begitu mengadu.
"Hm? Kenapa.." Byan hanya melengos saat wajahnya dihadapkan dengan sang momma.
"By.."
"No.." Genta memperhatikan adiknya, itu jelas Byan yang sangat berbeda dengan Byan beberapa puluh menit lalu.
"Oke, oke, enggak." Liana membenarkan gendongan Byan yang merosot. Hanya lengan Byan mengelilingi lehernya yang masih terasa kencang.
Anak itu benar-benar kelelahan. "Kamu butuh sesuatu, By?" Byan menggeleng gusar.
"Kenapa?" Andrew datang, Sean memberi gestur mengantuk setelah menunjuk Byan. Dan Genta menjelaskan selanjutnya dengan berbisik, Byan belum mengatakannya.
Keenan mengangguk saat tatapan sang papah tertuju padanya, tangannya masih sibuh meneduhi kepala Byan.
Liana sudah menggendong Byan sejak tadi, Andrew memang sudah berniat akan memindahkannya ke gendongannya. "Come." Liana membantu memindahkan Byan.
Anak itu protes saat membuka sedikit matanya sang ibu malah beranjak menjauh. "Uuuuh."
"Ini papah. Ini papah." Andrew membalikkannya agar bertemu wajahnya.
"Liat? Ini papah,"
Andrew duduk di salah satu tembok rendah yang teduh, Byan begitu terlihat tak nyaman. Sesuatu menahannya agar tak terlelap, dan sesuatu membuatnya tak bisa mengatakan apa yang ingin disampaikannya.
"Byan, kenapa? Hm?" Andrew memegang kedua pundak itu agar dapat tegap menatapnya. Byan mengusap leher, memilin jari-jarinya, kembali ke lehernya dan berusaha melepaskan pegangan Andrew yang tak seberapa pada pundaknya.
"Say it, bilang." Byan merengek. Bibirnya melengkung ke bawah, matanya masih setengah terpejam. Andrew yang jadi tak tahan menahan jawabannya.
"Byan ngantuk? Hm? Ngantuk? It's okay, nak." Andrew membawanya kepelukan saat anggukan lemah Byan akhirnya ia dapat.
"Manusiawi kalau kamu merasa ngantuk, meski kita ada di dalam acara penting sekali pun. Kalau kamu ngantuk, kamu bisa bilang.. momma gak akan bantu kamu tidur yang nyaman kalau kamu gak bilang." Tangan Byan melingkari leher Andrew meski pun jaraknya lebih tinggi dari kepalanya, Byan langsung mengistirahatkan kepalanya yang berat di sana, dada bidang sang papah yang jauh lebih keras dari pada mommanya terasa berkali-kali lipat lebih baik karena ia mendengar detakan teratur jantung sang papah menari di telinganya.
Napasnya berangsung teratur, Andrew mendongak untuk menghela napasnya.
Liana yang melihat itu mendesah lega. "Mom. Genta ngantuk." Liana terkekeh, menarik leher Genta agar masuk ke dalam pelukan main-mainnya dan menepuk-nepuk pantat bujang itu berulang dengan gemas.
Sean tertawa, "Sen jugaaaa." Pelukan itu berubah menjadi Liana yang memeluk dua bujangnya.
Keenan mendekat dari belakang sang momma, ia jelas jauh lebih tinggi dari kedua adik-adiknya. Ia memutuskan untuk memeluk mereka bertiga.
Dan mendusal di sisi wajah sang momma.
Andrew tertawa hingga terlihat gigi grahamnya.
Tbc.
Haiiii, wkwk, akhirnya weekend~
Pendek banget ya?With luv,
Areen.
KAMU SEDANG MEMBACA
If Byanice was adopted
Aktuelle LiteraturBagaimana jadinya jika Byan adalah seorang anak yang diadopsi? Cast: Anaies family x Momma Liana