Halo, kangen Byan, ya?
Maaf typos.....
Liana sebenarnya sudah terus-terus menanyakan keseriusan Byan untuk pergi, dan Byan selalu mengatakan ia siap. Pertandingan itu diadakan di stadion yang lebih besar karena final sesungguhnya adalah melawan perwakilan sekolah lain untuk sebuah pertandingan persaudaraan. sehingga club sepak bola Byan harus pergi bersama untuk beberapa hari kedepan. Dan jelas Liana sudah berulang kali menanyakan Byan hingga anak itu hapal sendiri dengan pertanyaannya..
Hingga hari H,
Byan yang bersikap tak terduga berlari keluar dari bus memeluk sang papah kencang dengan air mata terurai sebelum detik-detik keberangkatan. Robert yang berada di sana sampai melompat dari tempatnya untuk menangkap Byan tepat waktu karena gadis itu melompat keluar begitu saja dengan langkah serampangannya, tangisnya pecah, dan kalimat yang diucapkannya berulang adalah, "Byan gak mau pergi, Byan gak mau pergi." Dengan wajah yang tak mau dilihat sedikit pun.
Akhirnya Andrew mengambil langkahnya sendiri, mempersilakan bus itu berangkat terlebih dahulu, lalu menghubungi asisten pribadinya untuk memindahkan tempat bermalam teman-teman di klub bola Byan agar satu hotel dengannya, dengan begini Byan tak akan merasa jauh, mereka hanya akan terpisah beberapa lantai atau mungkin beberapa kamar.
"Kamu boleh memilih untuk gak pergi. Kamu selalu boleh tinggal, Byan." Andrew mengusap punggung Byan perlahan sembari tersenyum mengiringi keberangkatan bus yang sempat tertunda.
Byan merasa takut tiba-tiba, saat kedua orang tuanya melambai untuknya dari luar bus yang akan berangkat ke kota pertandingan mereka, napasnya terasa tercekat, sesuatu mengingatkannya pada hari di mana ayahnya akhirnya meninggalkannya di jalan. Ia tak ingin pergi, tak juga ingin meninggalkan mereka.
kini ia hanya bisa menangis, menyembunyikan wajahnya di pundak sang papah menyesali ketidakseriusannya dalam menjawab pertanyaan yang selalu ditanyakan sang momma beberapa hari belakang. "Gak papa, kamu boleh berubah pikiran, good thing karena kamu berubah pikirannya sebelum bisnya berangkat, good job, Byanice. Kamu boleh bicara kalau gak sanggup, hm? gak ada yang maksa kamu untuk baik-baik saja, nak. uhh, anak mami.." namun dengan sangat baiknya sang ibu justru menghangatkannya dengan kata-kata yang melegakan hatinya.
Ada yang selalu Byan syukuri dalam doa sebelum tidurnya. Banyak yang sudah ia panjatkan dan tuhan dengarkan, banyak juga yang sudah ia ganti seiring banyaknya hal baik yang terjadi di hidupnya belakangan ini. Tuhan pasti sangat baik memberinya orang-orang seperti kedua orang tua barunya juga keluarga barunya.
"Kamu boleh menangis, ambil waktu kamu sebanyak yang kamu butuh, kita bisa menyusul kapan aja." bahu kecil itu bergetar melepas tangis.
Namun jelas hanya Tuhan yang mengetahui sebanyak apa rasa syukur yang sudah Byan ucapan padanya.
Beberapa hari yang lalu..
Andrew cukup terkejut saat menemukan seorang pria yang selalu was-was diingatnya tepat di samping mobilnya diparkirkan. Ia kebetulan sedang menyetir sendiri, dan di antara banyaknya kesempatan, haruskah sekarang?
Dari yang ia tahu pengadilan sudah mulai melaksanakan sidang pertama, tapi meskipun seseorang itu adalah terdakwa yang dijatuhkan tuntutan, terdakwa tidak boleh diperlakukan seperti pelaku kriminal jika belum diputuskan bersalah. Mungkin itu sebabnya seseorang itu kini masih bisa menemuinya.
Ya, ia menemukan Felix, ayah biologis putrinya yang membungkuk padanya berulang kali sambil memohon agar mereka bisa berbicara sebentar. Akhirnya Andrew menyetujuinya dan berniat menariknya ke salah satu kafe terdekat agar mereka bisa berbicara lebih nyaman. namun Felix menolaknya, dan mengatakan bahwa ia tak memiliki banyak waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
If Byanice was adopted
General FictionBagaimana jadinya jika Byan adalah seorang anak yang diadopsi? Cast: Anaies family x Momma Liana