Libur kenaikan kelas sudah berlalu tepat semalam dan saat ini mereka semua telah memasuki kelas XII. Tidak adanya sistem perpindahan kelas setiap kenaikan kelas membuat mereka tetap berada di kelas yang sama namun begitu tidak membuat mereka bisa duduk sesuai keinginan yang ingin memiliki sebangku kekasih masing-masing.
"Udah kelas dua belas, gak terasa ya."
Ujaran sendu itu berhasil membuat atmosfer di sekitar tiba-tiba gamang. Beberapa pasang remaja yang sedang duduk lesehan itu sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Kita bakalan satu kampus gak?" Tanya Yaya.
"Gue bakalan ngikutin ke mana ayang Lala aja." Jawab Stev yang tengah tiduran dengan kepala di atas paha Lala.
"Gue juga ikut kampus pilihan Asa." Jawab Jeff juga.
"Papa lo?" Tanya Yaya.
"Sama seperti bokap Lo." Jawab Jeff santai.
"CK, bukan itu maksud gue Jeff." Nada kesal itu keluar dari mulut Yaya.
Jeff mengangkat bahu acuh, "Mereka gak ada bedanya kan?" Tanyanya lagi.
"Iya sih." Ujar Yaya seraya menggaruk pelipisnya.
Pembahasan sedikit membingungkan itu adalah permasalahan kedua orang tua Jeff dan Yaya. Selama ini mereka hidup dalam jurang kesepian dan setelah saling bertemu Yaya dan Jeff menyadari adanya kesamaan pada nasib mereka. Mungkin itu yang membuat pertemanan mereka masih saling terjalin hingga saat ini, sama-sama ingin menemani agar rasa sepi itu tidak menghampiri.
Kedua orang tua Yaya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, itu di mulai dari ia memasuki sekolah menengah pertama hingga kini. Bahkan Yaya hampir lupa wujud orang tuanya seperti apa, bukan karena jahat tetapi memang begitulah adanya. Tidak pernah pulang, tidak pernah mengabari, tidak pernah ingin tahu, Yaya sudah kebal dengan hal seperti itu dan hal itu juga yang terjadi dengan Jeff.
"Dia maunya gue lanjut di luar negeri, tapi gue nolak..." Jeda sejenak Jeff memerhatikan para sahabatnya satu persatu, "Ada Asa yang harus gue jaga, gue lebih milih kuliah di kota ini aja. Lagian mau di mana pun gue kuliah ujung-ujungnya tetap megang perusahaan sialan itu." Lanjut Jeff.
Asa menepuk-nepuk pelan punggung kekasihnya seraya menyenderkan kepalanya di dada Jeff.
"Kalau gue, tunggu jadi orang berhasil dulu baru di pandang seperti seorang anak. Makanya setiap mau ngambil keputusan selalu kalian yang nentukan atau kakak atau abang-abang gue. Tapi karena saat ini ada Aga, jadi ke mana Aga kuliah gue ikut. Boleh kan Aga?" Yaya mengedipkan matanya berkali-kali seraya memandang kekasihnya itu.
"Gue juga mutusin buat kuliah di kota ini bareng Aya. Kalau bisa begitu tamat langsung nikah biar bisa tinggal bareng keluarga gue dan Aya bisa ngerasain punya keluarga." Ucapan panjang lebar serta elusan di rambut Yaya membuat sang empu merasa terlindungi serta terbawa perasaan.
"Uuuuu sosweet banget sih." Ujar Aisyah yang memukul-mukul lengan Felix karena gemas dengan dua sejoli itu. Felix hanya bisa menghembuskan napas pasrah.
"Yang lain pada lanjut ke mana?" Tanya Asa?
"Gue ikut ke mana Salma mau. Sekalian pembuktian kalau gue serius sama dia. Gak tau deh, boleh apa enggak sama orangnya." Ujar Odi kali ini.
Salma bersemu merah, pandangan mereka bertemu tetapi gadis itu langsung mengalihkan tatapannya.
"Aku pindah ke Bandung, sekalian jagain nenek. Cuma itu yang bisa aku jawab." Jawab Salma setelah menetralkan perasaan gugupnya yang seringkali timbul kepermukaan jika bertemu dengan tatapan tajam Odi.
"Ya udah, kalau gitu gue juga ikut jagain nenek lo sekalian jagain lo juga. Titik gak ada penolakan." Putus Odi tanpa mau di bantah.
Salma terperangah, sedangkan sahabatnya yang lain hanya bisa mengulum senyum dan menahan tawa. Mau tak mau Salma kembali pasrah atas keinginan mutlak Odi untuk yang kesekian kalinya.
"Apa cuma gue yang beda sendiri?" Tanya Felix dengan lirih, sanggup mengehentikan tatapan jahil mereka ke Odi dan di gantikan tatapan tidak mengerti yang di layangkan untuk Felix.
"Maksudnya?" Tanya Yaya mewakili.
"Aisyah gak bisa ikut kuliah bareng gue di kota ini dan gue juga gak bisa ikut dia untuk kuliah di luar kota ini." Padat sekali penjelasan Felix yang membuat mereka merasa tak enak hati karena membahas hal ini.
Bagaimana dengan Aisyah, gadis itu sudah mendengus sedari untaian kalimat keluar dari mulut Felix.
"Dasar laki-laki gak peka." Ujarnya pelan bahkan seperti desisan. Namun, mereka masih bisa mendengarnya.
"Memang nya kapan gue bilang gak bisa ikut ke mana lo kuliah?"
"Kenapa tabiat lo yang ini susah banget di hilangin sih. Kesel gue."
Ujaran menggebu-gebu itu membuat Aisyah ingin nangis aja saat ini. Mereka yang ada di tempat itu juga jadi merasa tidak enak.
"Sebenarnya ada apalagi sih?" Tanya Raga.
"Lo tanya aja deh sama sahabat lo itu." Jawab Aisyah.
"Kan kamu bilang mau lanjut kuliah di Jakarta, berarti gak bisa sama-sama aku kan?" Felix berjalan ke arah Aisyah dan berjongkok di depan gadis itu.
"Gue cuma bilang dan lo belum ada ngajak gue untuk ngampus bareng. Itu dua hal yang berbeda karena lo belum tau apa jawaban gue kalau seandainya lo ngajak gue ikut kuliah bareng kayak pasangan yang lainnya."
"Kenapa sih, lo selalu ngambil kesimpulan sendiri? Udah dua kali lo kayak gini." Sudah tidak ada lagi kelembutan dalam nada bicara Aisyah.
Selalu ini permasalahan di antara mereka, bahkan dari sebelum jadian hingga kini mereka sudah memutuskan untuk menjalin hubungan.
"Aku takut ajakan aku jadi beban kamu, Sayang. Jangan kayak gini, aku minta maaf." Ujar Felix setenang mungkin seraya menghapus air mata yang turun di pipi gadisnya.
"Tapi.. apa salahnya... Hiks.. kamu tanya ke aku." Aisyah sesenggukan yang membuat mereka semua tak tega.
"Sesekali lo yang harus ambil keputusan, Lix. Lo kan cowok, masalah apa tanggapan pasangan lo nantinya itu urusan belakang. Kalau lo langsung ambil kesimpulan yang ada kalian selalu salah paham." Nasehat Jo yang sedari tadi hanya diam saja.
"Mending lo ungkapin apapun yang pengen lo ungkapin. Dengan begitu pasangan lo tau tindakan apa yang harus di ambil untuk jalan tengah permasalahan kalian." Raga menambahi.
"Gue salah. Gue akui itu, dan gue masih pengecut. Gue takut apa yang keluar dari mulut gue bakalan buat Aisyah kepikiran dan lebih parahnya buat dia kecewa." Jawab Felix parau.
"Kamu harus terbuka sama aku. Cuma itu satu-satunya yang bisa buat aku bertahan di sisi kamu." Pernyataan Aisyah membuat jantung Felix berdegup kencang. Ia takut gadis ini meninggalkan dirinya.
"A-aku bakalan berubah. Tolong jangan tinggalin aku." Felix memohon.
"Kita berubah bareng-bareng ke arah yang lebih baik. Tenang ya sayang." Aisyah menangkup kedua pipi Felix dan mengelusnya.
"Jadi, Aisyah mau sekampus sama Felix?" Tanya Yaya dan di angguki dengan antusias oleh Aisyah.
Apapun rintangannya nanti, mereka yakin bisa menghadapinya bersama-sama. Semoga saja.
Satu part lagi abis itu selesai deh.
Aku udah nyiapin cerita ke dua.
Mampir kalau ada waktu jangan lupa untuk jadi orang pertama yang tinggalkan jejak di karya ku guys....
KAMU SEDANG MEMBACA
B.U.C.I.N. | End
Teen FictionCinta datang karena terpaksa atau cinta datang karena terbiasa? Teman menjadi pacar, sahabat menjadi pacar, orang asing menjadi pacar dan yang dianggap pengganggu juga menjadi pacar. Pada akhirnya kata Bucin (budak cinta) mewakili masa remaja mereka.