Bandung.
Mobil yang dikendarai Alfan akhirnya sampai di sebuah rumah sakit swasta yang lumayan besar dan terkenal. Dengan sedikit tergesa, Alfan berlari menuju ke ruangan ibu mertuanya.
Sedari tadi Zahra, sang istri terus saja menghubunginya. Panik, cemas dan takut adalah perasaan yang juga dirasakan Alfan. Ibu mertuanya sangat baik terhadapnya, bahkan ia sudah menganggapnya seperti ibu kandung sendiri.
Oleh sebab itu bahkan Alfan rela menerima perjodohan dengan Bulan sebab alasan yang egois.
Langkah kaki Alfan membuat seseorang yang ada di depan ruangan tersebut menoleh. Wajahnya sembab dengan bekas air mata yang masih basah di pipi.
Wanita bertubuh mungil dengan hijab berwarna biru itu berlari dan memeluknya. Menumpahkan isak tangis di dalam pelukannya.
“Aku takut, Mas.”
“Ibu akan baik-baik saja, Ra.” Sembari mengelus lembut punggung yang bergetar tersebut.
Masih dalam pelukannya, Alfan menuntun wanita itu untuk duduk bersama dengan yang lain. Di sana ada dua orang lainnya yang tak lain adalah kedua adik iparnya.
Dua adik iparnya menggeleng. “Ibu, Mas,” lirihnya kemudian terisak.
Alfan yang menjadi lelaki satu-satunya sandaran keluarga tersebut hanya bisa menenangkan mereka dengan kata ‘semoga ibu baik-baik saja’. Apalagi yang bisa dikatakan selain itu di saat seperti ini.
Tak lama dokter keluar dari ruangan dengan wajah tertunduk.
“Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” tanya Zahra dengan cepat.
“Maaf, kami sudah berusaha semampu kami. Namun takdir Tuhan berkata lain,” ucap Dokter tersebut dengan wajah menyesal. “Ibu Rina telah meninggal dunia.”
Brug!
Zahra jatuh berlutut di lantai dengan tangisan yang menyayat hati. Kehilangan anggota keluarga yang sangat berharga dalam hidupnya adalah pukulan yang luar biasa.
Alfan mendekat dan memeluk Zahra. Ia sedih dan juga terpukul, namun tak boleh terlihat rapuh karena ada seseorang yang membutuhkan sandarannya.
Zahra dan kedua adiknya saling berpelukan sambil terisak.
Alfan kemudian meminta pihak rumah sakit untuk mengurus kepulangan jenazah ibu mertuanya.
Rumah duka telah ramai didatangi oleh tetangga dan kerabat jauhnya. Jenazah ibu mertuanya telah dimandikan dan juga telah dibungkus kain kafan.
Zahra dan kedua adiknya masih saja terisak.
Jenazah ibu mertuanya sudah diangkat ke dalam ambulans siap dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Tetangga juga beberapa kerabat dan yang lainnya mengikuti di belakang ambulans dengan kendaraan masing-masing.
Alfan dan Zahra berikut kedua adiknya berada di mobil milik Alfan. Mereka masih tak henti-hentinya menangis atas kehilangan orang tua satu-satunya.
“Ra, sudah. Ibu pasti sedih jika melihatmu seperti ini.” Alfan menoleh sekilas ke arah Zahra.
“Aku cuma punya ibu, Mas. Bagaimana aku akan sanggup melanjutkan hidup tanpa ibu sebagai penerang kehidupanku,” ujarnya dengan lirih.
“Kamu masih punya aku, Ra. Lihat, ada adikmu yang juga butuh kamu,” kata Alfan sambil melirik kaca tengah mobilnya. Melihat kedua adik iparnya terisak saling berpelukan.
Karena keadaan yang ruwet dan mumet, Alfan sampai melupakan istrinya yang lain. Semenjak kepergiannya, ia bahkan lupa mengabari Bulan.
Di atas gundukan tanah yang masih basah tersebut, Zahra terduduk sembari memeluk nisan ibunya dengan isak tangis yang belum bisa dihentikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)
RomanceSiapakah aku? Aku hanyalah seorang perempuan yang dinikahi karena sebuah alasan perjodohan klasik. Laki-laki yang beberapa jam lalu baru saja mengucapkan ijab kabul ternyata adalah suami perempuan lain. Queena Bulan Latief berharap menjadi satu-sat...