Bab 26

5.5K 245 0
                                    

“Selamat pagi, Den Alfan.”

Alfan mengangguk dengan senyum hangat.

“Bulan masih di kamar, Mbak?”

“Iya, Den. Sepertinya Non Bulan belum bangun. Apa mau dibangunin?”

“Tidak usah, biar aku saja yang ke kamar,” sahut Alfan setelahnya pergi menuju lantai dua.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Tidak biasanya Bulan masih di kamar. Biasanya pukul enam wanita itu akan turun dan duduk di taman ditemani kopi atau teh hangat sembari menghirup udara yang masih sejuk dengan tetesan embun yang masih basah.

Perlahan Alfan membuka pintu kamar yang tidak terkunci. Langkah kakinya begitu pelan karena suasana dalam kamar tersebut benar-benar gelap tanpa cahaya lampu.

Alfan berjalan ke arah pintu balkon dan membuka tirai yang menutupi kaca hingga sinar mentari bisa masuk dan menyinari kamar yang tadinya gelap gulita.

Pintu menuju balkon juga dibuka hingga embusan angin segar membuat Bulan terusik.

“Aku masih ngantuk, Mam. Please, biarkan aku tidur lima menit lagi,” gumam Bulan pelan dengan mata yang masih tertutup rapat. Bahkan, tangannya semakin erat mencengkeram selimut untuk menghalau udara dingin yang menyapu kulitnya.

Baru kali ini Alfan melihat Bulan bergumam dalam tidurnya.

Tangan Alfan menyingkap selimut yang dipakai Bulan dengan kasar hingga membuat sang empunya kembali menggerutu dalam ketidaksadaran. Tangannya begitu erat tidak mau melepas selimut tersebut seolah itu adalah kehangatan yang menenangkan.

“Mam, please! Jangan ganggu tidurku. Aku sedang malas bekerja jadi biarkan saja aku tidur seharian.”

Alfan menggelengkan kepala dengan gemas. Wajah polos Bulan terlihat begitu cantik alami. Bangun tidur saja wanita itu terlihat cantik, apalagi setelah merias diri.

Kecantikannya membuat mata para lelaki tak bisa berpaling. Mungkin salah satunya adalah dirinya sendiri yang mulai mengagumi kecantikan sang istri.

Alfan menepuk bahu Bulan pelan. Tak ada sahutan karena napas itu terdengar begitu halus.

“Bulan, bangun,” ucap Alfan sambil menggoyangkan tubuh Bulan pelan.

Hingga beberapa menit kemudian Bulan langsung terduduk ketika telah sadar dari mimpi indahnya.

Tapi, Bulan melupakan bahwa saat ini ia hanya mengenakan pakaian tipis yang memperlihatkan bagian tubuhnya yang selama ini selalu tertutup.

Mata Alfan terpanah dengan pemandangan indah tersebut. Pakaian Bulan begitu tipis hingga puncak payudara yang tidak dilapisi bra tersebut terlihat menyembul.

“Mas Alfan, sejak kapan ada di sini?” tanya Bulan dengan suara serak.

“Baru saja. Aku sudah membangunkanmu tiga puluh menit yang lalu. Tapi sepertinya kamu sedang bermimpi indah hingga tidak mau diganggu,” sahut Alfan sedikit menyindir.

Bulan menanggapinya dengan kekehan pelan.

“Mas Alfan sudah baca pesanku?” tanya Bulan mengalihkan perhatian.

“Pesan apa? Maaf ponselku terjatuh dan rusak, jadi aku tidak pegang ponsel untuk saat ini.”

Bulan mengembuskan napas dengan kasar. Kemudian menyahut ponselnya yang ada di atas meja, setelah membuka pesan yang dikirimkan, ia menyodorkannya ke arah Alfan.

“Astaga, aku lupa bahwa Papa masih mengawasiku,” gumam Alfan dengan mimik wajah yang terlihat tegang.

Bulan terkekeh melihatnya. “Salahmu sendiri kenapa tidak bicara denganku. Maaf kali ini aku tidak bisa membantumu, Mas.” Sambil menunjukkan wajah penuh sesal.

ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang