Bab 11

5.7K 302 12
                                    

Hari berganti, minggu berlalu, bulan berganti dan waktu terus berputar mengikuti bumi yang juga terus berputar.

Semuanya mengalami perubahan namun tidak dengan hubungan antara Alfan dan Bulan. Hubungan sepasang suami-istri itu masih panas seperti saat terakhir kali mereka bertengkar.

Sikap Bulan yang cuek membuat hubungan mereka terasa semakin dingin karena tidak ada komunikasi yang baik di antara keduanya. Bulan dan Alfan sama-sama memiliki sikap yang tak mudah dibelokkan sehingga keduanya sama-sama tidak ada yang mau mengalah.

Alfan sudah mencoba bicara dengan Bulan namun selalu berujung dengan perdebatan. Alfan yang seharusnya hanya meminta maaf pada Bulan ternyata mengungkit sesuatu hal lain yang selalu membuat emosinya naik.

Begitulah keduanya. Mereka tinggal bersama bahkan berbagi kamar yang sama namun bagaikan orang asing yang tidak saling mengenal. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumah ini bahkan sampai tidak habis pikir dengan pasangan pengantin baru ini. Namun mereka hanya cukup menyimpan semuanya dalam hati saja. Bukan urusan mereka untuk ingin tahu tentang sesuatu yang bukan jalurnya.

Keduanya sibuk menghabiskan waktu dengan kegiatan masing-masing. Alfan dengan kesibukannya yang akan diangkat menjadi CEO sedangkan Bulan tengah sibuk karena butiknya sedang mengalami peningkatan permintaan klien.

Mereka berdua menyibukkan diri dengan kehidupan masing-masing hingga melupakan bahwa kehidupan rumah tangga mereka juga perlu diluruskan.

Sebentar lagi Alfan akan mendapatkan keinginannya yaitu menjadi pewaris Herlambang Group dan seluruh asetnya. Dan setelah itu entah apa yang akan terjadi, Bulan sama sekali tak ingin memikirkannya.

Sabtu malam minggu menjadi waktu yang pas yang seharusnya cocok untuk menghabiskan waktu bersama. Alfan mendekati Bulan yang duduk di depan meja rias.

“Bulan, ada yang ingin aku katakan?” ujar Alfan membuat Bulan menengok.

“Ada apa?” ucap Bulan dingin.

Sebelum mengatakan maksudnya, Alfan menghembuskan napas panjang.

“Maafkan aku. Maaf karena ucapanku menyakitimu. Semua kesalahanku, aku yang menarikmu dalam semua kerumitan ini. Maafkan aku,” ujar Alfan dengan sungguh-sungguh. “Aku tidak ingin hubungan kita semakin memburuk seperti ini, Bulan. Kita bagaikan orang asing yang tinggal dalam satu rumah hanya karena pertengkaran yang tak memiliki ujung.”

Bulan mendengarkan dengan baik namun masih enggan menjawab.

“Kamu sudah berjanji untuk memberi kesempatan pada pernikahan ini. Maka ayo kita mulai dengan cara yang baik.”

Bulan tertawa sinis. “Cara yang baik?” ulangnya, “jika kamu masih menutupi kebohongan dengan banyak kebohongan lagi maka itu tidak terdengar baik, Mas.”

Bulan memutar tubuhnya dan kini ia sepenuhnya menghadap ke arah Alfan yang juga tengah menatapnya. Kekuatan tatapan mata keduanya seolah melumpuhkan waktu.

“Aku sudah mengatakan kejujurannya kepada Zahra.” Bulan tersentak mendengar pengakuan Alfan. “Aku telah menceritakannya pada Zahra. Semuanya!” Alfan menekan kata semuanya tanpa keraguan.

Ya, Alfan memang telah mengakui dan mengatakan kejujurannya pada Zahra saat wanita itu memaksa untuk pindah. Wanita itu telah menetap di Jakarta beberapa minggu yang lalu bersama dengan kedua adiknya. Alfan menyewakan sebuah rumah di perumahan yang sama dengannya, hanya berbeda blok saja.

Awalnya Zahra histeris dan tidak terima. Bahkan wanita itu menyangkal tentang kejujuran yang diutarakan Alfan. Namun lelaki itu membuktikan dengan menunjukkan beberapa foto dan juga akta nikahnya bersama dengan Bulan.

ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang