Bab 28

5.3K 240 0
                                    

Tiga hari dilewati Bulan tanpa kehadiran Alfan. Sunyi, sepi dan juga kosong. Perasan itu diam-diam dirasakan. Namun Bulan tetaplah Bulan, dia tidak akan mengatakan apa yang dirasakan begitu saja.

Walaupun Alfan sering menghubunginya, tapi tidak melihat kehadirannya membuat rindu itu menyergap hatinya.

Sore tadi sebelum pulang dari kantor, Alfan mengirimkan pesan bahwa ia masih akan menemani Zahra sampai akhir pekan. Lalu ia membalas seperti biasanya.  Jawaban tidak apa-apa selalu masih tetap menjadi andalannya.

Setelah makan malam, Bulan memutuskan untuk langsung istirahat.

Dipandangi langit-langit kamar dengan sendu. Sekuat apa pun ia menutupi semuanya dengan kata baik-baik saja, nyatanya tidak dengan apa yang dirasakan.

“Sampai kapan aku harus bertahan? Keadaan ini benar-benar menyiksa, Tuhan,” gumam Bulan seraya menghapus tetesan bening yang ada di sudut matanya.

Bulan merendahkan suhu ruangan, kemudian menutup dirinya dengan selimut tebal. Diam-diam isak tangis itu terdengar walau sangat lirih.

Sekitar satu jam Bulan menangis, ia kemudian bangkit dan pergi ke kamar mandi untuk menyeka wajahnya.

Sekitar pukul sebelas malam saat Bulan baru saja memejamkan mata, Bulan mendengar suara pintu kamarnya dibuka pelan.

“Bulan,” sapa Alfan saat Bulan membalikkan tubuhnya untuk melihat ke arah pintu.

“Mas Alfan,” balas Bulan sedikit terkejut. “Kok di sini? Katanya mau di sana sampai akhir pekan,” sambungnya, kemudian bangun dan duduk.

“Memangnya tidak boleh? Kan kamu juga istriku, wajar dong aku mau lihat istriku,” sahut Alfan.

Bulan hanya memutar bola matanya malas. Ia kembali merebahkan diri saat Alfan masuk ke kamar mandi.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Alfan kembali dengan piyama tidur dan langsung menyusul naik ke atas ranjang. Satu tangannya menarik Bulan untuk lebih dekat dan memeluknya. Tidak ada penolakan, Bulan hanya menggeser tubuhnya namun masih dengan posisi yang memunggungi.

“Kenapa kamu belum tidur?” tanya Alfan sambil mengeratkan pelukan.

“Tidak apa-apa, belum mengantuk,” sahut Bulan.

“Kenapa kamu di sini, Mas?”

“Kenapa memangnya? Aku rindu kok,” sahut Alfan dengan santai.

“Tidak tahu malu,” cibir Bulan.

Walau bibirnya mencerca, namun hatinya sedikit menghangat setelah melihat wajah Alfan. Apalagi dalam posisi seperti ini, Bulan merasa nyaman. Aroma tubuh Alfan begitu menenangkan.

“Biarkan saja. Sah-sah saja, kita suami istri kok.”

“Sudahlah, jangan banyak bicara aku ngantuk.”

Bulan kembali memejamkan mata. Kemudian dirasakan Alfan mengecup puncak kepalanya.

Good night, Bulan.”

Sebelum subuh, Bulan bangun namun sudah tidak mendapati keberadaan Alfan di sampingnya. Ia mencari-cari lelaki tersebut bahkan sampai ke lantai dasar yang masih gelap. Tidak ada sosok Alfan di sana. Tapi tadi malam ia benar-benar ? melihat kehadiran Alfan, ataukah itu hanya mimpi karena ia yang terlalu merindu?

Bibi belum bangun. Bulan mencoba menghubungi penjaga gerbang dan bertanya tentang kedatangan Alfan.

“Benar, Non. Den Alfan semalam datang, sekitar pukul dua keluar lagi.” Begitu konfirmasi yang didapatkan.

Helaan napasnya terdengar berat. Alfan pergi tanpa pamit, Bulan sudah bisa menebak pasti lelaki itu kembali ke rumah Zahra.

Sementara di rumah Zahra. Wanita itu mencecar Alfan dengan berbagai pertanyaan. Bahkan marah-marah dan menangis karena ditinggalkan begitu saja.

ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang