Bab 18

6.1K 301 8
                                    

Bulan masih tertidur lelap sambil duduk di sisi ranjang Alfan. Sementara Alfan sudah mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum manik matanya terbuka.

Matahari mulai terlihat menampakkan sinarnya walau belum meninggi.

Alfan merasakan pusing di kepala. Ia sama sekali tidak mengingat kejadian semalam di mana dirinya mengamuk dan berakhir tidak sadarkan diri setelah menghancurkan seisi lantai satu.

Matanya menunduk dan melihat Bulan tertidur dengan posisi yang jelas tidak nyaman. Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk lengkungan senyum tipis yang sangat manis. Walau dalam kemarahan sekali pun, ternyata wanita itu masih peduli padanya. Perlahan tangan Alfan terulur untuk menyentuh kepala Bulan. Baru sekali usapan, Bulan terlihat terganggu dan bergerak tidak nyaman sebelum membuka mata.

Bulan langsung mengangkat kepalanya saat menyadari yang mengusap kepalanya adalah Alfan.

“Mas Alfan butuh sesuatu?” tanya Bulan serak.

“Kenapa tidur di kursi? Ranjang ini masih muat untuk tempat tidur kita berdua,” sahut Alfan sambil menepuk sisi yang kosong.

Bagaimana aku bisa tidur di sampingmu sementara kamu selalu menggenggam tanganku dan tidak mau melepasnya Mas, batin Bulan.

“Mas Alfan sudah baikan? Apa yang kamu rasakan saat ini?” Tangan Bulan menyentuh kening Alfan untuk melihat suhu tubuhnya yang semalam sangat panas.

Yeah, semalam Alfan tidak sadarkan diri dan terserang demam. Kemungkinan lelaki itu sedang stress atau memang tidak menjaga kesehatannya sendiri selama beberapa waktu. Bulan juga tahu kesibukan yang dilakoni Alfan, mungkin itu juga faktor yang akhirnya membuat tubuhnya drop.

“Tidak perlu cemas. Hanya sedikit pusing,” sahut Alfan lagi membuat Bulan bisa bernapas lega.

Kemudian Bulan melangkah ke arah kamar mandi dan menyiapkan air hangat ke dalam bathtub. Setidaknya air hangat bisa sedikit meredakan pusing yang melanda.

Setelah menyiapkan air dan mengantar Alfan ke kamar mandi, Bulan turun ke lantai bawah dengan wajah yang sedikit segar setelah mencuci muka. Setidaknya air bisa membuat matanya kembali terbuka dan menghilangkan rasa kantuk yang masih dirasakan.

“Bi, tolong buatkan Mas Alfan bubur juga teh panas ya. Nanti tolong diantar ke atas.” Minta Bulan kepada Bibi yang ada di dapur.

“Non Bulan sekalian sarapannya dibawa ke atas?” tawar Bibi yang tahu mengenai keadaan Alfan yang semalam demam tinggi.

“Boleh, Bi. Terima kasih.”

Alfan duduk di meja rias Bulan dengan rambut basah yang hanya ditutupi handuk. Tubuhnya telah dibalut dengan kaos polos berwarna hitam dipadukan dengan celana sepanjang lutut yang membuat style Alfan terlihat lebih muda. Bulan yang melihatnya berinisiatif untuk mengeringkan rambut Alfan. Rambut yang terlalu lama basah bisa menyebabkan sakit kepala.

Saat tangan Bulan mengambil handuk tersebut, Alfan kaget namun tetap membiarkannya. Mereka tidak saling tatap namun Alfan dan Bulan saling mencuri pandang melalui pantulan cermin yang ada di depan mereka.

“Mas Alfan libur saja dulu. Aku akan mengabari papa untuk izin kalau Mas sedang tidak sehat.” Bulan pikir kesehatan Alfan lebih penting dari urusan pekerjaan. Bahkan ia sendiri berniat libur untuk menjaga Alfan yang keadaannya tidak baik-baik saja.

Ketika telapak tangan Bulan menyentuh lehernya, Alfan seperti terkena serangan listrik bertegangan tinggi. Darahnya berdesir dengan hebat, jantungnya berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya.

Ada perasaan aneh yang dirasakan.

Sesuatu yang tidak pernah dirasakan sebelumnya.

Tepukan di bahu menyadarkan Alfan hingga membuatnya mendongak. Lagi, tatapan matanya kini bertemu secara langsung. Alfan terpesona hingga keduanya saling mengunci pandang hingga beberapa saat.

ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang