Bab 14

5.3K 267 0
                                    

Selama beberapa hari Bulan selalu sibuk dengan urusan butiknya. Ia selalu pulang larut malam dan selama itu pula Alfan selalu menunggunya. Hubungannya dengan lelaki itu lebih baik dari sebelumnya. Komunikasi di antara keduanya juga mulai terbuka tentang beberapa hal.

Karena hari ini adalah hari terakhir dirinya bersama dengan Alfan maka Bulan memutuskan untuk pulang sebelum magrib tiba. Ia ingin sedikit memanfaatkan waktu bersama dengan suaminya untuk saling mengenal.

Saat Bulan tiba di rumah ternyata Alfan juga baru saja tiba. Mereka berdua bahkan baru saja turun dari mobilnya masing-masing.

“Tumben pulang sore, Bulan,” ucap Alfan. “Kamu baik-baik saja, kan?”

Bulan mengangguk. “Baik. Pekerjaanku sudah selesai makanya aku pulang.”

Keduanya berjalan bersamaan masuk ke dalam rumah. Bulan langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa setelah mereka berada di ruang tamu.

“Mas Alfan mau makan apa? Sepertinya malam ini aku ingin memasak,” ujar Bulan bertanya. Alfan memandangnya penuh tanya seolah meragukan ucapannya.

Pantas jika Alfan ragu jika Bulan bisa memasak.

“Tenang saja, masakanku tidak akan membunuhmu kok,” sambungnya yang langsung membuat Alfan tersenyum kemudian menggeleng.

“Bukan itu maksudku, Bulan,” ujar Alfan cepat, “aku hanya ingin mengajakmu makan malam di luar sekalian jalan-jalan.”

Bulan mengangguk. “Boleh. Kalau begitu aku mandi dulu.”

Setelah itu Bulan langsung beranjak naik ke kamarnya. Sementara Alfan langsung mendatangi bibi untuk mengatakan mereka akan pergi keluar supaya tak perlu menyiapkan makan malam.

Bulan masih merias wajahnya sementara Alfan telah menunggunya di bawah.

Malam ini Bulan mengenakan A-line dress berwarna hitam yang sangat pas di tubuhnya. Rambutnya tergerai dengan indah, biru masih menjadi warna yang sampai saat ini belum terganti. Setelah memakai high heels dan mengambil half moon bag, Bulan segera turun.

Mata Alfan melebar melihat penampilan Bulan malam ini, mereka seperti sepasang kekasih yang akan berkencan. Alfan bahkan sampai mematung karena terpesona dengan istrinya sendiri.

“Ayo, Mas.” Bulan sudah berjalan lebih dulu karena Alfan hanya diam saja.

Alfan mengenakan kemeja berwarna hitam senada. Penampilannya tidak kalah keren dari Bulan, apalagi ketika lelaki itu menarik lengan kemejanya hingga sebatas siku. Ketampanannya semakin bertambah berkali-kali.

Mobil yang dikendarai Alfan melesat meninggalkan kawasan perumahan dengan kecepatan sedang.

The winner hotels and restaurants.

Alfan sudah reservasi di restoran ini setelah Bulan mengatakan setuju. Restoran ada di lantai dasar, seharusnya mereka tidak perlu menggunakan lift. Alfan menempelkan kartunya dan menekan lantai dua puluh di mana itu adalah lantai teratas gedung ini.

Bulan merasakan ada yang menggenggam tangannya. Ia menunduk dan melihat Alfan menautkan tangannya.

“Sekali saja, biarkan seperti ini.” Alfan memohon dengan penuh harap.

Mau tidak mau akhirnya Bulan mengalah. Walau ada perasaan tidak nyaman tapi ia mencoba bersikap biasa saja. Lagi pula mereka pasangan halal, jadi hanya bergandengan tangan bukan masalah.

Saat pintu terbuka, suasananya terlihat sangat sunyi. Hanya ada mereka berdua di sini. Mata Bulan tertuju pada meja dengan dekorasi yang sangat manis. Alfan menuntunnya untuk menuju meja, lelaki itu juga menarik kursi untuknya. Setelah mereka duduk Alfan menyerahkan buket bunga mawar putih untuknya.

Bulan tersenyum dan menerimanya.

“Candle light dinner?” ujar Bulan dengan senyum manis.

“Hanya ingin memanfaatkan waktu sebaik mungkin,” sahut Alfan.

Kemudian Alfan segera mengajak Bulan untuk segera menyantap makanan yang telah tersedia di atas meja. Sesekali mereka melemparkan tatapan mata yang hangat.

Suasana semakin romantis ketika lagu Too Love Somebody – Bee Gees mengalun merdu hingga membuat Bulan terlena. Bulan bahkan ikut menyanyikan lagunya walau hanya sebatas gerak bibir tanpa suara.

“Bulan, besok waktunya aku ke rumah Zahra.”

Bulan mengangguk mengerti. Ini sudah kesepakatan bersama dan ini adalah resiko yang harus diterima ketika ia memilih menerima Alfan dan pernikahan ini.

“Kabari aku apa pun jika itu penting,” lanjut Alfan lagi karena belum puas atas jawabannya.

“Iya, Mas. Aku tahu,” sahut Bulan pada akhirnya.

Bulan mengangkat tangannya ketika Alfan akan mengucapkan sesuatu. “Jika hanya membahas tentang Zahra lebih baik hentikan.” Bukannya ia egois dan mau menang sendiri, ia hanya menghindari topik pembahasan yang membuat luka hatinya kembali menganga.

Alfan mengangguk. Obrolan keduanya berlanjut membahas banyak hal tentang keduanya. Mulai dari hobi, apa yang disuka dan tidak hingga obrolan seru lainnya yang sama sekali tidak terlalu penting. Mereka melakukan itu untuk bisa semakin mendekatkan diri dalam hubungan yang lebih baik lagi. Setidaknya setelah permintaan Alfan waktu itu, Bulan sama sekali tak pernah mengungkit tentang status dan hubungan yang mereka jalani, sikapnya juga lebih baik dari sebelumnya yang sering melontarkan kata-kata sindiran.

Obrolan keduanya terhenti saat ponsel Alfan terus berbunyi dan bergetar. Lelaki itu hanya menatapnya sekilas tanpa mau menjawabnya.

“Zahra? Angkat saja tidak apa-apa.” Tebakan Bulan benar karena yang menghubunginya memang Zahra.

Alfan menggeleng. “Tidak apa-apa.” Setelah ponselnya diam, ia langsung menonaktifkannya. “Jangan berpikir macam-macam, Bulan. Aku hanya sedang menjaga hati dan perasaan kalian berdua.”

Bulan mengangkat bahunya. “Terserah kamu saja,” ucapnya malas.

Obrolan ringan keduanya mengalir begitu saja. Tanpa terasa ternyata mereka telah menghabiskan dua jam berada di tempat ini dengan sesuatu yang menyenangkan. Menyenangkan karena pada akhirnya keduanya mulai merasa nyaman satu sama lain.

Rumah sederhana yang baru beberapa minggu ditempati itu sudah terlihat penuh oleh beberapa perabotan baru yang dibeli Alfan untuk melengkapi isi rumah.

Kedua adik Zahra terlihat senang sekali tinggal di tempat ini, berbeda dengan Zahra, semenjak kedatangannya ke Jakarta ia lebih banyak diam dan sering menangis jika sendirian.

Penyebabnya hanyalah satu yaitu mengetahui suami yang dicintai ternyata memiliki istri lain selain dirinya.

Ketika mengingat besok adalah jadwal Alfan bersama dengannya, Zahra langsung berniat menghubungi suaminya untuk bertanya. Lelaki itu sama sekali tak menjawabnya, tiba-tiba ponselnya mati.

Zahra mendesah pelan kemudian terisak dengan pelan. “Kamu berubah, Mas. Bahkan untuk menjawab panggilanku saja kamu mulai malas.”

Kamar yang tadinya rapi kini terlihat berantakan karena aksi Zahra yang menggila. Wanita itu melemparkan apa pun yang dilihatnya hingga berserakan ke lantai. Wajahnya yang polos dengan sikap yang lembut tidak ada di dalam Zahra yang selalu disebut sebagai wanita yang anggun dan lemah lembut, wanita itu seolah berubah menjadi orang lain saat seperti ini.

Zahra merasa sikap Alfan sudah mulai berubah terhadapnya. Ini semua karena Bulan, batin Zahra penuh amarah dalam hatinya.

“Kamu hanya milikku, Mas. Kamu suamiku dan tidak akan kubiarkan orang lain merebutmu. Alfan Fatih Herlambang hanya untuk Zahra Jasmine seorang,” desisnya dengan mata memerah terlihat mengerikan.






To Be Continue ….






ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang