“Mau ke mana Mas? Pagi sekali.” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Zahra yang melihat Alfan tengah bersiap. Padahal waktu masih menunjukkan pukul lima pagi.
“Aku ada urusan pekerjaan,” sahut Alfan tanpa menoleh.
“Kenapa pagi sekali. Jam kantor baru akan buka jam delapan, Mas.” Zahra mendekat sambil menatap Alfan curiga.
“Aku harus mengunjungi salah satu cabang yang baru mulai berkembang. Siang nanti aku akan kembali ke kantor pusat. Jadi jadwalku hari ini benar-benar padat, Ra.”
Zahra menggeleng menolak untuk tidak percaya dengan perkataan Alfan.
Kamu bosnya, untuk apa kamu harus bekerja sekeras ini, batin Zahra miris.
“Aku mungkin akan pulang larut. Jadi, jangan menungguku.” Alfan berbalik badan dan menyentuh bahu Zahra lembut.
“Mas Alfan tidak berniat menghindar, kan?” tanya Zahra dengan cairan bening yang sudah di pelupuk mata.
Alfan menggeleng tegas. “Tidak, Ra. Untuk apa? Kamu istriku. Tapi pekerjaan ini adalah tanggung jawabku, aku tidak bisa mengabaikannya.”
“Apa pekerjaan lebih penting dibandingkan denganku, Mas?” Zahra mendongak, menghalau air mata yang akan meluncur di pipinya.
Alfan mendengkus sebelum menjawab, “Kamu penting, tapi pekerjaan juga penting untuk aku menghidupi kalian semua. Papa belum mengumumkan aku sebagai pewaris, jadi aku hanyalah karyawan di sana walaupun dengan posisi tinggi.”
Zahra menarik napas panjang sebelum mengangguk. “Aku mengerti, maafkan aku, Mas.” Nada suaranya berubah dengan begitu cepat.
Alfan merangkul bahu Zahra dan mengajaknya untuk turun. Beberapa kali juga Zahra bertanya tentang apa ia akan pulang ke rumah Bulan atau tidak. Tentu dengan tegas Alfan menjawab tidak, sesuai kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Bahwa waktu yang mereka miliki telah dibagi dengan sebaik mungkin.
Sementara Bulan, setelah subuh ia memilih lari pagi mengelilingi kompleks. Entah mengapa langkah kakinya membawanya berlari sangat jauh hingga berada di kawasan kompleks di mana tempat tinggal Zahra.
Bulan mendengkus kesal dan memaki dirinya sendiri. Saat lewat, matanya tak sengaja melihat Alfan yang sudah rapi dengan pakaian kerja diikuti Zahra yang mengekor di belakangnya.
Matanya memanas melihat bagaimana sikap keduanya. Benar-benar sangat romantis seperti pasangan pada umumnya.
Bulan mempercepat larinya dengan air mata yang membasahi pipi putihnya.
“Benar, tidak ada wanita yang akan rela berbagi suami walau tidak ada cinta di dalamnya. Aku berharap hanya menikah sekali, tapi jika pernikahan ini menyakitkan, apakah aku harus tetap bertahan dan menahan rasa sakit ini sendirian,” gumam Bulan dengan terus berlari semakin cepat, tubuhnya bahkan bergetar dengan hebat karena air mata yang tak bisa dibendung.
Di sisi hatinya, Bulan merasa kasihan dengan Zahra. Tapi disisi lain, ia berpikir, siapa yang peduli padanya? Tentang perasaannya, tentang kehidupannya yang jungkir balik seperti ini. Tidak ada yang tahu.
Hingga tanpa sadar, Bulan sudah sampai di depan perumahan. Ia memilih duduk di dekat pos keamanan untuk mengatur napasnya yang tersenggal.
Tin! Tin! Tin!
Bunyi klakson membuat Bulan mendongak dengan tatapan terkejut ketika melihat bahwa sosok Alfan yang ternyata ada di hadapannya.
“Mas Alfan,” gumam Bulan lirih.
“Selamat pagi, Bulan,” sapa ramah Alfan dengan senyum yang hangat.
Bulan mengangguk dan tersenyum. “Mau ke mana, Mas?” bertanya basa-basi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)
RomanceSiapakah aku? Aku hanyalah seorang perempuan yang dinikahi karena sebuah alasan perjodohan klasik. Laki-laki yang beberapa jam lalu baru saja mengucapkan ijab kabul ternyata adalah suami perempuan lain. Queena Bulan Latief berharap menjadi satu-sat...