Bab 23

5.4K 267 0
                                    

Bulan dan Alfan langsung bergegas menuju ke rumah Zahra setelah mendapatkan panggilan mendadak tersebut.

Adik ipar Alfan mengatakan bahwa Zahra jatuh tidak sadarkan diri di toilet.

Setelah sampai di sana, mereka langsung melarikan Zahra ke salah satu rumah sakit yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka.

Zahra langsung masuk ke dalam IGD dan mereka menunggu di ruang tunggu.

“Kok bisa Mbak Zahra tidak sadarkan diri di toilet?” tanya Alfan.

“Mbak Zahra sepertinya masuk angin, Mas. Beberapa hari mual-mual dan tidak mau makan,” sahut Zea—adik perempuan Zahra.

Di telinga Bulan maksud kata mual-mual terdengar lain.

Dia pasti hamil, batin Bulan dengan hati yang kembali patah.

Tak berapa lama dokter keluar dan mengatakan bahwa Zahra akan dipindahkan ke ruang rawat. Nanti akan ada dokter khusus yang memeriksanya.

“Mbak Zahra baik-baik saja ‘kan, Mas?” tanya Zain—adik bungsu Zahra.

“Tidak apa-apa. Jangan cemas.”

Zahra mendapatkan ruangan VIP sesuai permintaan Alfan. Saat mengisi data pasien tadi, sempat terjadi perdebatan antara Bulan dan Alfan. Sebab seenaknya Alfan menulis tentang statusnya yang menjadi suami Zahra.

Bukan masalah jika memang Alfan mau semua orang tahu tentang status pernikahannya dengan Zahra. Hanya saja Bulan tidak mau jika sampai kabar miring ini terdengar di telinga kedua orang tua mereka.

Alhasil terpaksa Alfan mengatakan mereka adalah tetangga tapi ia yang menjamin karena keluarganya yang lain masih belum cukup umur.

Tak lama setelah dokter masuk memeriksa Zahra. Dokter tersebut tersenyum sambil berkata, “Bu Zahra positif hamil. Anda suaminya?”

Alfan menggeleng. “Saya tetangganya, Dok. Suami pasien sedang ada pekerjaan di luar kota.”

Dokter tersebut mengangguk mengerti. “Bu Zahra tidak boleh terlalu lelah dan jangan biarkan stress karena bisa mempengaruhi kondisi janin yang masih berkembang.”

“Terima kasih penjelasannya, Dok.”

“Sementara Bu Zahra akan menginap dulu sampai cairan infusnya habis.”

Alfan mengangguk.

Setelah kepergian dokter tersebut, Bulan terduduk lemah di kursi tunggu. Ia mendongak dan menatap Alfan dengan mata yang berkaca-kaca.

“Selamat, Mas Alfan akan jadi ayah,” ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar.

Tanpa menunggu jawaban, Bulan langsung pergi meninggalkan Alfan yang hanya menatapnya tanpa berkata-kata.

Bulan terlalu kecewa mengetahui fakta ini. Zahra hamil anak dari Alfan. Tentu bisa saja, Zahra istrinya dan mereka saling mencintai. Sudah pasti mereka memang menunggu momen seperti ini.

Sementara Alfan masih mematung di tempatnya.

Zahra hamil?

Alfan menjambak rambutnya dengan kasar. Padahal mereka sepakat menunda untuk punya anak sampai pernikahan mereka disahkan secara hukum.

Jika seperti ini, maka anak yang lahir dari rahim Zahra tidak akan memiliki status. Alfan bahagia mendengar kabar kehamilan Zahra, tapi ia juga memikirkan tentang apa yang akan terjadi ke depannya.

Perlahan Alfan masuk ke dalam ruangan. Ternyata istrinya telah sadar. Langkah kaki membawanya mendekat dan meninggalkan kecupan di puncak kepala Zahra.

Zea dan Zain mengucapkan selamat dan bahagia karena akan memiliki keponakan.

“Kita akan jadi orang tua, Mas.” Zahra berucap dengan lirih. Matanya penuh binar kebahagiaan.

“Istirahatlah.”

Zahra menangkap sesuatu yang aneh pada Alfan. Suaminya itu terlihat tidak senang mendengar kabar kehamilannya.

“Mbak cantik tadi siapanya Mas Alfan?” Pertanyaan tiba-tiba dari Zea membuat mata Zahra mengedar mencari seseorang yang dimaksud.

“Mbak Bulan, istrinya Mas.”

Alfan langsung mengakuinya begitu saja tanpa ditutupi. Mengatakan bahwa Bulan adalah istri keduanya yang sah secara hukum dan agama.

Ada sesuatu yang mengusik hati Zahra mendengar ucapan Alfan.

Istri yang sah secara hukum dan agama.

Lalu, apa ia hanya dianggap sebagai simpanan?

Zea dan Zain tentunya terkejut mendengarnya. Tapi Zain memilih diam karena ia belum paham masalah orang dewasa.

“Cantik-cantik kok pelakor,” pekik Zea dengan mata yang melotot.

“Jaga bicaramu, Zea. Jangan sembarangan!” Peringat Alfan karena ucapan kurang ajar adik iparnya.

“Kenapa Mas Alfan membelanya? Kalau Mbak tadi bukan pelakor, tidak mungkin mau jadi istri kedua.”

“Sudah, Zea, Mas Alfan. Jangan bertengkar,” sela Zahra menghentikan keduanya.

“Pasti Mbak Zahra sakit begini gara-gara memikirkan Mas Alfan ya? Dasar perempuan sundal, tidak tahu diri,” tuding Zea dengan sangat kasar.

Plak!

Tangan Alfan terangkat menampar pipi adik iparnya yang sudah sangat keterlaluan.

“Mas Alfan!” pekik Zahra tidak terima.

Jelas Alfan tidak terima ada yang mengatakan hal buruk tentang Bulan. Karena apa yang dikatakan sama sekali tidak benar.

Bulan tidak serendah itu, batin Alfan.

Setelah kepergian Alfan, suasana ruangan mendadak sunyi. Zea terisak di sofa dengan pelan. Sementara Zahra, memikirkan sikap Alfan yang sampai mengangkat tangan hanya karena membela Bulan.

Kedatangan Bulan sudah banyak memberikan perubahan kepada Alfan. Dulu, ia adalah perempuan paling bahagia yang selalu dimanjakan. Tapi sekarang, ia terlihat menyedihkan karena tidak dianggap penting lagi.

Aku pasti memenangkan kamu, Mas. Pasti, batin Zahra penuh keyakinan.

Tentunya kehamilan ini bisa dimanfaatkan untuk membuat perhatian Alfan hanya tertuju padanya.

Ini memang rencana Zahra. Ia sengaja tidak meminum pil kontrasepsi agar segera hamil.

Senyumnya mengembang dengan tangan yang mengusap perutnya lembut.

“Bawa ayahmu kembali pada kita, Nak.”

Sementara Bulan, kini ia tak bisa membendung air matanya. Ia terisak dengan cairan bening yang membasahi pipinya.

Hatinya begitu nyeri mendengar kenyataan ini. Di saat ia akan menyerahkan diri pada Alfan, kenyataan bahwa Alfan telah mencumbu mesra dengan Zahra membuatnya sakit.

Bulan menyadari tidak akan ada pernikahan yang akan baik-baik saja jika diisi oleh dua cinta dalam satu hati.

Rasanya Bulan ingin memilih berhenti saja. Kenapa dulu ia memutuskan menjalaninya jika tahu tentang resiko yang akan terjadi.

Sakit sekali.

Kenapa harus sekarang di saat perasaan itu mulai ada?

Kenapa harus sekarang saat nama Alfan mulai memiliki tempat di hatinya?

Kenapa?

Kenapa?

“Jangan menangisi seseorang yang bahkan tidak memikirkanmu.”

Suara itu membuat Bulan menoleh dan mendapati sosok lelaki yang dikenal tengah menatapnya sambil mengulurkan sapu tangan.

“Jika dia cinta, dia tidak akan menyakiti.”

“Jangan menyangkal tentang apa yang aku katakan, Bulan.”

“Kamu tidak tahu apa pun, Marvin.”



To Be Continue ....

ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang