Semenjak pertemuan antara Bulan dan Zahra, keadaan sedikit mulai membaik sebab mereka sudah saling tahu tentang apa yang terjadi. Alfan berusaha bersikap adil dengan membagi waktunya, tiga hari bersama dengannya dan tiga hari bersama Zahra. Sementara di hari minggu, Alfan meminta waktu untuk sendiri.
Bulan menyetujui tanpa banyak protes, sementara Zahra terlihat beberapa kali tidak menerima keputusan Alfan. Bahkan wanita itu menuntut hari minggu Alfan harus bersamanya karena ia istri pertama.
Jawaban Alfan membuat wanita itu terdiam dengan isak tangis.
“Jangan menuntut terlalu banyak, Zahra. Istri pertama atau kedua tidak ada bedanya, kalian sama di mataku. Seharusnya kamu bersyukur kita bisa bertemu tiga kali dalam seminggu. Dulu kita hanya bertemu dua kali dalam sebulan. Kamu jangan terlihat serakah, Zahra.” Itulah ucapan Alfan yang saat itu terdengar di telinga Bulan.
Begitu terdengar menyakitkan karena Alfan sama sekali tidak pernah berkata kasar padanya.
Sementara persoalan jatah bulanan, Bulan tidak menerima uang cash dari Alfan karena ia diberikan dua kartu debit dan kredit. Sementara Zahra, Alfan memberikannya uang cash sekitar dua puluh lima juta khusus untuknya, sementara biaya untuk sekolah kedua adiknya, Alfan akan menanggungnya sendiri.
Seperti sebelumnya, Zahra protes dengan apa yang diberikan Alfan. Wanita itu berteriak karena merasa Alfan berbuat tidak adil padanya.
“Sebelumnya juga seperti ini dan kamu selalu mengerti, Zahra. Kenapa sekarang menjadi seperti ini?” Sudah untung Alfan tidak memangkas uang bulanan Zahra.
“Seharusnya aku yang berhak mendapatkan semua itu, Mas. Kenapa hanya Mbak Bulan yang diberikan tetapi aku tidak?” cecarnya dengan penuh emosi.
“Sejak kapan Zahra-ku mengungkit soal materi?” Pertanyaan Alfan kembali membungkam wanita itu.
“Aku istri pertamamu, Mas.”
Anehnya, mendengar obrolan tersebut Bulan menjadi berpikir buruk. Pikirannya yang biasa selalu memikirkan hal-hal yang positif tiba-tiba runtuh ketika melihat sikap istri pertama suaminya.
Alfan selalu mengatakan bahwa Zahra itu baik, lembut, shalihah dan pengertian terhadapnya, tapi yang dilihatnya sama sekali tidak menunjukkan hal itu.
“Apa Mbak Bulan tidak mau sadar diri?” Zahra menyindirnya.
Tentu ucapan itu cukup dimengerti olehnya. Dan ia langsung melemparkan dua kartu yang ada di tangannya ke arah Zahra.
“Ambil jika kamu menginginkannya,” ucapnya sinis. “Tanpa kartu itu, aku masih mampu menghidupi diriku sendiri. Jangan selalu mengungkit tentang statusmu karena aku juga istrinya. Bahkan statusku sah di mata hukum,” lanjutnya yang kemudian memilih meninggalkan mereka berdua.
Muak, ia benar-benar tidak sabar jika harus menghadapi wanita itu. Ia tahu bahkan cukup sadar diri dengan statusnya, bukan keinginannya hadir di antara mereka. Dan ia bukanlah seseorang yang memiliki kesabaran seluas samudera.
“Bulan, tunggu!” Suara Alfan berteriak sama sekali tak dihiraukan.
Sementara Zahra, wanita itu merengek dengan manja ketika Alfan memarahinya. Setelahnya Bulan tak lagi mendengar apapun karena ia memilih masuk ke dalam kamar utama.
Keesokan harinya saat mereka berada di meja makan, Alfan kembali mengulurkan dua kartu yang semalam menjadi perdebatan.
“Maafkan sikap dan ucapan Zahra padamu, Bulan. Dia masih belum menerima semua ini, tolong berikan waktu padanya. Sebenarnya Zahra itu baik, mungkin saja apa yang terjadi saat ini membuatnya sedikit syok dan kehilangan kendali. Aku mewakilinya semoga kamu bisa memaafkannya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)
RomanceSiapakah aku? Aku hanyalah seorang perempuan yang dinikahi karena sebuah alasan perjodohan klasik. Laki-laki yang beberapa jam lalu baru saja mengucapkan ijab kabul ternyata adalah suami perempuan lain. Queena Bulan Latief berharap menjadi satu-sat...