Bab 24

5.2K 276 3
                                    

Bulan memilih pergi dari area taman dan kembali masuk ke dalam rumah sakit ketika hawa dingin menyerang tubuhnya bahkan sampai membuatnya menggigil.

Marvin sempat menawarkan jasnya untuk dikenakan Bulan, tapi wanita itu menolak dengan halus. Diketahui Bulan, Marvin berada di sana karena omanya mengalami gagal jantung dan sudah beberapa hari dirawat. Sebelum pergi, Bulan menyampaikan rasa terima kasih karena Marvin sedikit menghiburnya juga mengucapkan agar keluarganya cepat diberikan kesehatan.

“Lain kali jika berkenan, kunjungi beliau. Mereka pasti senang melihatmu.” Begitu ucapan Marvin terakhir kalinya.

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Seharusnya ia masih bergulung di bawah selimut yang hangat sambil bermimpi indah.

Kakinya berjalan dengan pelan kembali ke ruang rawat Zahra. Tubuhnya seolah tidak memiliki tenaga untuk sekadar menopang dirinya.

Semakin langkahnya mendekat, Bulan melihat Alfan yang duduk di depan ruangan.

“Bulan, dari mana saja?” tanya Alfan dengan suara serak.

Mengambil tempat duduk di samping Alfan dan menatap wajah lelaki yang menjadi suaminya.

“Aku baru saja mencari udara segar di depan. Dadaku begitu terasa sesak sekali,” jawab Bulan pelan.

“Maafkan aku, Bulan.”

Bulan menggelengkan kepala. Untuk apa minta maaf, ini bukan kesalahan. Toh mereka suami istri walau tidak resmi.

“Bukan salahmu. Kenapa harus meminta maaf. Bukankah wajar jika seorang istri hamil, lagi pula ada kamu yang menjadi suaminya.”

Alfan semakin menunduk dalam. Sentuhan tangan Bulan yang lembut membuatnya mendongak. Manik mata mereka saling bertemu, saling terkunci di wajah masing-masing hingga keduanya mengalihkan pandangan ketika terdengar suara pintu terbuka.

Zain, adik bungsu Zahra keluar dengan mata yang sayu dan terlihat ngantuk.

“Kamu ngantuk? Pulang saja sama Mbak Zea, biar Mas yang nunggu Mbak Zahra.”

“Besok sekolah, Mas.”

“Iya pulang saja. Mbak Zea mana?”

Belum sempat pertanyaan Alfan terjawab, Zea keluar dari ruangan dengan mata yang sembab dan pipi yang masih memerah akibat tangan Alfan.

“Dasar pelakor! Cantik-cantik kok maunya sama suami orang,” sindir Zea dengan sinis.

Bulan tidak banyak bereaksi. Ia hanya menatap Zea dengan datar tanpa mau menjawabnya.

“Berhenti mencampuri urusan orang dewasa. Kamu tidak tahu apa pun!” bentak Alfan kembali terpancing emosi.

“Tidak tahu apa, Mas?! Mana ada perempuan baik yang mau menjadi istri kedua dari laki-laki yang sudah beristri. Kecuali perempuan itu memang murahan dan tidak punya harga diri!” sanggah Zea dengan mata melotot.

Alfan bahkan sudah mengangkat tangannya lagi siap memberikan pelajaran pada adik iparnya. Tapi ditahan oleh Bulan.

“Kamu masih belum mengerti urusan orang dewasa. Lebih kamu diam dan tutup mulutmu, itu lebih baik daripada mempermalukan Zahra.” Bulan malas menanggapi dan memilih tidak memperpanjang urusannya.

“Lihat! Dia berani sekali, dasar pelacur!”

Plak!

Kali ini bukan tangan Alfan yang melayang melainkan tangan Bulan sendiri yang menampar pipi adik dari Zahra.

Alfan diam, bahkan hanya untuk membela saja ia tidak mampu. Ucapan adik iparnya benar-benar keterlaluan dan sangat kasar.

“Sebaiknya kamu jaga bicaramu atau kamu akan lihat lebih dari ini. Kamu masih sekolah tidak sepantasnya berkata kasar dengan makian yang tidak pantas seperti itu.”

ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang