Bab 29

5.3K 257 6
                                    

Brak!

Bulan terlonjak kaget mendengar pintu ruangannya terbuka dengan keras. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ia masih harus memeriksa satu gaun lagi sebelum pulang.

“Mas Alfan.” Bulan melihat Alfan datang dengan wajah merah dan sorot mata yang penuh kemarahan.

“Jangan bermain-main dengan pernikahan ini, Bulan. Kamu itu istriku!” ucap Alfan dengan suara lantang.

Bulan yang tidak tahu maksudnya hanya menatap Alfan datar.

“Apa! Aku tidak tahu maksudmu, Mas Alfan. Kamu datang dan menuduhku macam-macam. Aku tidak mengerti, apa ini!” Bulan menggelengkan kepala dengan pelan.

“Jangan berpura-pura tidak tahu apa pun. Siapa lelaki itu?!”

Bulan bangkit dari kursinya dan mendekati Alfan. Berdiri berhadapan membuat Bulan dapat merasakan napas Alfan yang memburu.

“Duduklah dan minum lebih dulu. Bicara dengan jelas dan tanpa emosi. Aku bahkan tidak tahu apa yang kamu maksud,” ucapnya menarik tangan Alfan ke arah sofa.

Mereka berdua duduk, Bulan menyodorkan segelas air ke arah suaminya itu kemudian menatap wajahnya setelah terlihat tenang.

“Kamu sudah tenang? Sekarang katakan dengan jelas, apa yang kamu maksud.”

“Siapa lelaki yang bersamamu di mall siang tadi?”

Walaupun Bulan bingung dari mana Alfan tahu, ia tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

“Maksudmu Marvin? Bukankah kamu sudah mengenal bahkan sudah bertemu dengannya di sini ya,” jawab Bulan tenang.

“Marvin Ian Adiprama?”

Bulan mengangguk.

“Kamu ada urusan apa dengannya? Kenapa kamu bisa ada bersama dengan Tuan Marvin? Walau dia temanmu, tapi dia tetap rekan bisnisku. Kamu harus bisa menjaga sikap di depannya.”

“Maksudmu apa, Mas? Apa kamu berpikir aku menggodanya? Pendek sekali pikiranmu ini.” Bulan menggeleng dengan keras. Bangkit dari sofa dan berjalan ke arah meja kerja mengambil ponsel dan kembali duduk di sofa.

Beberapa detik memainkan ponselnya, Bulan mengangkat layarnya tinggi-tinggi dan menunjukkannya di hadapan Alfan.

“Dia Madeline, adiknya Marvin. Kami di sana tidak berdua. Itu pun kami tidak janjian, kita kebetulan bertemu secara tidak sengaja sesaat setelah aku duduk di food court,” ucap Bulan menjelaskan.

“Tapi kamu kelihatan begitu akrab dengannya?!” Alfan masih keukeh dengan tuduhannya.

“Tentu karena kami sudah lama saling mengenal. Bahkan bisa dibilang aku lebih mengenal Marvin daripada kamu suamiku sendiri,” ucap Bulan menohok membungkam Alfan.

“Kamu,” desis Alfan dengan rahang mengeras.

“Kamu datang dan marah-marah tanpa bertanya lebih dulu. Heran aku sama kamu, mudah sekali di provokasi. Kamu bahkan tidak berkaca dengan diri sendiri. Bukankah kamu yang mempermainkan ikatan suci pernikahan ini?”

“Bulan!”

“Sudahlah, sudah clear, kan? Pulanglah, istrimu pasti sudah menunggumu.” Bulan mengusir Alfan dengan halus. Matanya berkaca-kaca siap menumpahkan cairan bening. Ia tidak mau Alfan melihatnya rapuh dan lemah.

“Kamu juga istriku, Bulan!”

“Cukup, Mas. Aku tidak mau berdebat lagi denganmu,” ucap Bulan lirih.

Saat Bulan akan bangkit, Alfan menarik tangannya dengan keras hingga Bulan terjatuh di pangkuan Alfan. Dengan jelas Alfan bisa melihat mata Bulan yang sudah menganak sungai siap menumpahkan cairan bening.

ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang