"Jangan terlalu banyak berpikir. Dokter mengatakan kamu tidak boleh terlalu stress."
Alfan duduk di sisi ranjang seraya menatapnya dengan perasaan bersalah.
"Maaf semua ini karena aku," sambungnya dengan helaan napas yang terdengar penuh tekanan.
"Mari kita bercerai saja, Mas. Aku tidak mau ada di antara hubungan kalian berdua. Lebih baik kita akhiri saja sebelum semuanya menjadi lebih rumit."
Alfan menggeleng.
"Lalu aku harus bagaimana? Jangan egois, Mas." Bulan memekik dengan suara tertahan.
Alfan tertunduk.
"Kamu takut kehilangan warisan orang tuamu?" tanya Bulan menebak.
Kebungkaman Alfan cukup menjawab semuanya.
"Apa kamu tidak berpikir tentang perasaanku, hatiku dan hidupku yang telah kamu permainkan?" tuding Bulan dengan suara lemah. "Aku korban dari kebohonganmu, Mas. Kamu menghancurkan hidupku."
"Aku terpaksa, Bulan. Tolong mengertilah," keluh Alfan merasa frustrasi.
"Lalu siapa yang akan mengerti diriku, Mas?" Baliknya dengan lembut namun penuh sindiran. "Kamu yang menarikku ke dalam pusara luka ini. Dan kamu memintaku untuk mengerti. Apa kamu memang tidak punya hati, Mas?"
Alfan membanting gelas yang ada di dalam genggaman tangannya.
"Aku terpaksa demi istriku. Aku dipaksa oleh keadaan, Bulan. Aku juga tidak ingin melakukan ini," ujar Alfan dengan suara yang meninggi.
"Lalu apa artinya aku, Mas?" lirih Bulan dengan suara yang hampir tak terdengar.
Alfan kembali bungkam karena tak bisa menjawab pertanyaan Bulan. Seketika itu juga tangis Bulan pecah, ia ingin menyatakan kekecewaan, menyuarakan protes namun lidahnya keluh.
"Jangan seperti ini," ucap Alfan dengan nada frustasi.
Bulan menghembuskan napas kasar. "Lalu aku harus bagaimana?"
"Tolong jangan melibatkan orang tua kita ke dalam urusan ini." Permintaan Alfan membuatnya kembali dilanda kekecewaan.
"Tapi kedua orang tuamu juga bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku!"
"Kita bisa mencobanya, Bulan. Pernikahan ini bukan mainan," ujar Alfan membuatnya tertawa dengan miris.
"Seharusnya kamu mengatakan itu pada dirimu sendiri, Mas. Aku di sini hanya membela diriku karena ketidakadilan yang kamu lakukan. Kamu yang mempermainkan ikatan suci ini," balas Bulan yang selalu bisa menjawab ucapan Alfan dengan mudah.
Alfan memilih tak menjawab dan berjalan menuju balkon kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul empat menjelang pagi, namun mereka masih saja belum menghentikan perdebatan. Dengan perginya Alfan, lelaki itu memilih menghindar dan memberikan waktu kepada Bulan untuk memikirkan ucapannya.
Diakui Alfan, ia memang yang paling bersalah karena semua ucapan yang dikatakan Bulan semuanya adalah benar. Ia egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang-orang yang terseret di dalamnya.
"Maaf Bulan, semua ini aku lakukan karena aku terlalu mencintai Zahra. Dia cinta pertamaku."
Asap rokok mengepul di sekitar Alfan. Satu batang, dua batang hingga ia lupa telah menghabiskan berapa batang. Ia masih bertahan duduk di balkon bahkan ketika awan gelap sudah berubah terang.
✿✿✿
Bulan baru saja keluar dari kamar mandi dengan dress selutut dengan model yang simple namun tetap terlihat anggun.
Matanya melihat ke arah balkon sejenak sebelum mendudukkan diri di hadapan meja rias.
Tak lama ponselnya berdering. Bulan langsung mengambil ponsel dengan bentuk apel digigit itu dan langsung menjawab panggilan.
"Halo, Mam. Ada apa?" tanya Bulan langsung.
"Kami menunggu kalian di restoran. Jangan lama-lama."
"Mami dan yang lain bisa sarapan lebih dulu. Mas Alfan belum bangun, Mam." Bulan beralasan.
"Tidak ada penolakan, Bulan. Kami menunggu. Oh ya katakan pada Alfan, jangan memulainya lagi karena kita semua sudah menunggunya." Terdengar ledakan tawa dari seberang panggilan.
"Oke, Mam."
Bulan mendengus pelan dan menaruh ponselnya sebelum beranjak menuju balkon mencari suaminya.
Melihat posisi Alfan yang tidur seperti itu membuat Bulan merasa kasihan. Perlahan langkah kakinya mendekat dan duduk di sofa tunggal.
Manik cokelat miliknya menatap lelaki itu dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.
"Mas Alfan, bangun." Tangan Bulan menyentuh bahu suaminya dengan pelan.
"Hmm," bergumam tapi tidak juga membuka mata.
Bulan akhirnya menepuk lengan itu sekali lagi dengan sedikit keras hingga sang empunya terkejut dan langsung membuka mata.
"Cepat mandi. Keluarga kita sudah menunggu di bawah. Jangan lama-lama," ucap Bulan yang seketika membuat Alfan menoleh melirik jam di pergelangan tangannya.
"Iya."
Keduanya turun bersama menuju restoran yang terletak di lantai dasar. Keduanya masih dalam kebungkaman masing-masing.
"Memang dasar pengantin baru. Jam segini baru bangun," sindir Mama Silvi yang tak lain adalah ibunya Alfan.
Bulan tersipu. "Maaf Ma," ucapnya.
"Tidak apa-apa. Mama dulu juga pernah muda." Sambil terkekeh wanita paruh baya itu menggoda. "Bukankah begitu, Pa?" Mama Silvi menatap suaminya, Papa Andre.
Godaan dan candaan dilontarkan Mama Silvi dan Papa Andre kepada anak dan menantunya. Apalagi melihat mata mereka berdua yang jelas memiliki kantung mata membuat siapapun jelas tahu bahwa mereka berdua kurang tidur, tetapi tidak ada yang tahu alasan sebenarnya.
To Be Continue ....
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)
RomanceSiapakah aku? Aku hanyalah seorang perempuan yang dinikahi karena sebuah alasan perjodohan klasik. Laki-laki yang beberapa jam lalu baru saja mengucapkan ijab kabul ternyata adalah suami perempuan lain. Queena Bulan Latief berharap menjadi satu-sat...