Bab 6

5.9K 304 2
                                    

Setelah panggilan terputus Bulan melempar asal ponselnya ke atas ranjang. Tangannya menyahut kertas gambar yang tadi dipakai untuk menuangkan ide menggambarnya kemudian meremasnya dengan pelan dan melemparnya dengan mata yang berkaca-kaca. 

“Mampukah aku bertahan sementara hatiku saja terasa sesak seperti ini? Tuhan, kenapa takdir yang kau berikan harus serumit ini? Astaghfirullah,” gumam Bulan seraya menekan dadanya dengan pelan.

Bulan memilih masuk ke kamar mandi dan berwudhu, lebih baik ia menyerahkan semuanya kepada sang pemberi kehidupan. Percuma saja mengeluh dan meratapi nasib, sekuat apa pun kita melawan takdir, jika Tuhan sudah menuliskan skenarionya, maka manusia hanya mampu menjalaninya. 

Setelah selesai melakukan salat, masih terlihat jelas jejak air mata di kedua pipinya yang masih basah. 

Perlahan Bulan menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya berharap semuanya akan baik-baik saja seiring berjalannya waktu.

Waktu, ya hanya menunggu waktu dan semuanya akan membaik.

Bulan sudah duduk di taman ditemani dengan secangkir teh hijau yang menenangkan. Ia hanya tidur beberapa jam saja karena bingung harus memberikan alasan apa kepada kedua orang tua Alfan. 

“Huft!” Bulan menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan.

“Ayo berpikir Bulan.” 

Bulan berdiri dan mondar-mandir seperti setrika sambil memutar otak mencari alasan logis tentang kepergian Alfan. 

Tiba-tiba terlintas ide konyol di kepala Bulan. Alasan masuk akal dan yang pasti kedua orang tua maupun mertuanya tidak akan curiga sama sekali. 

Biarlah Alfan setuju atau tidak, hanya itu alasan yang terdengar masuk akal dan jelas orang tuanya atau mertuanya tidak akan mungkin banyak bertanya.

Bulan sedang memegang ponselnya dengan sedikit keraguan. Namun pada akhirnya ia menekan ponselnya beberapa saat dan menempelkannya di telinga.

“Halo. Apa kabar Ma?” 

“Baik-baik, kalian bagaimana? Jadi ke rumah hari ini?” 

“Begini Ma, ada yang mau aku sampaikan.” 

“Ada apa, Nak? Sepertinya kok serius sekali.” 

“Begini, Ma. Sepertinya Bulan dan Mas Alfan tidak bisa kesana soalnya kami mau pergi. Mama tidak keberatan, kan?” 

Di ujung panggilan Mama Silvi mengerutkan keningnya.

“Kalian mau pergi ke mana? Honeymoon?” 

“Iya, Ma. Kurang lebih mungkin seminggu. Mama dan papa tidak masalah bukan kalau kami ke sana sepulangnya saja?” 

Terdengar kekehan pelan sebelum menjawab, “Tidak. Kami tidak keberatan sama sekali. Kalian mau pergi ke mana biar mama yang mengurusnya.” 

“Kami sudah mengurus semuanya, Ma. Kami mau pergi ke Bali saja. Sore nanti kami berangkat," ujar Bulan memberitahu.

“Jaga diri baik-baik di sana. Jangan lupa buatkan mama cucu yang banyak.” 

Terdengar ledakan tawa dari Mama Silvi. Mendengar tawa ringan yang tanpa beban itu membuatnya juga ikut tertawa pelan. Tapi dalam hati ia memohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah membohongi mereka. 

“Ya sudah bersenang-senanglah kalian di sana. Hati-hati dan jangan lupa pesan mama.” 

“Sampaikan salam Bulan sama papa. Sekali lagi kami minta maaf ya, Ma.” 

Setelah panggilan terputus akhirnya Bulan dapat bernapas dengan lega. Untung saja mertuanya percaya, jika tidak? Entah apa yang akan terjadi. 

Setelahnya Bulan mencoba menghubungi Alfan. Dua kali panggilan namun tidak diangkat juga oleh pemilik ponselnya. 

Sekali lagi ia mencobanya berharap kali ini akan tersambung. Dan benar saja akhirnya panggilan itu dijawab juga.

“Halo.” 

“Pagi, Mas Alfan. Maaf jika aku mengganggu, aku cuma mau pamit kalau sore nanti aku akan pergi ke Bali selama seminggu,” jelas Bulan.

“Ada apa? Memangnya ada keperluan apa kamu ke Bali? Dengan siapa?” 

Cecaran pertanyaan dari Alfan membuat Bulan memutar bola matanya malas.

“Aku sudah mencari alasan dan alasannya adalah pergi ke Bali untuk honeymoon. Jadi aku akan pergi ke sana untuk menghindari mama dan papa.” Bulan menjawab setelah Alfan terdengar tenang.

Kamu tidak perlu pergi jauh-jauh, Bulan. Daripada kamu ke Bali sendirian lebih baik kamu datang ke Bandung saja.” 

Ke Bandung, apakah aku harus datang ke sana dan bertemu dengan kalian? batin Bulan miris.

“Tidak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja, aku sekalian mau liburan. Nanti kalau kamu kembali, aku juga akan kembali.” 

“Tapi —” 

“Sudah ya Mas, aku cuma mau menyampaikan itu. Terima kasih, Mas Alfan.” 

Dengan sepihak Bulan memotong ucapan Alfan dan langsung mematikannya begitu ia selesai mengucapkan kalimat terakhirnya. 

✿✿✿

Ponsel Alfan yang ada di atas meja bergetar beberapa kali sementara yang empunya sedang mandi. Kebetulan ada Zahra yang saat itu sedang merapikan kamar, ia melihat ponsel suaminya namun tak berani mengangkatnya. 

Queen Bulan. Nama yang tertera di layar ponsel tersebut. 

Zahra hanya melirik sekilas sambil berpikir siapa itu. Ia memang tak terlalu mengenal sahabat ataupun rekan kerja Alfan. Statusnya yang tersembunyi membuat ia tak banyak tahu tentang suaminya diluar sana.

Ceklek! 

Pintu kamar terbuka dan Alfan masuk ke dalam kamar dengan handuk yang masih melingkar di lehernya. 

“Mas, ponselmu sedari tadi bunyi,” ujar Zahra pada Alfan yang dijawab anggukan. 

Alfan langsung mengambil ponselnya dan melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Bulan. 

“Aku mau telepon sebentar, kamu tunggu di luar ya, Ra.” Tidak biasanya Alfan meminta waktu untuk sekadar menelpon.

Zahra langsung mengangguk dan keluar dari kamar sambil menebak siapa gerangan yang akan dihubungi suaminya.

Alfan baru saja mau menghubungi Bulan saat ponselnya kembali berdering. Secepat kilat ia mengangkatnya sambil duduk di atas ranjang. 

“Tapi —” ucapannya terputus ketika Bulan mematikan panggilan sepihak tanpa menunggu jawabannya. 

Alfan mendesah pelan, ia jadi merasa sangat  bersalah dengan Bulan karena dirinya wanita itu menjadi repot seperti saat ini. 

Alhasil Alfan hanya pasrah ketika Bulan memilih pergi ke Bali selama dirinya berada di Bandung. Ia kembali mengetikkan sesuatu di ponselnya sebelum mengantongi ponsel tersebut ke dalam saku celananya. 

Ia memilih keluar dari kamar sambil menunggu pesannya dibalas. Langkahnya membawanya menuju sofa dan langsung mengambil tempat duduk di samping istrinya.

Diam-diam Zahra menatap Alfan dengan mata yang menyorotkan kecurigaan. Pasalnya selama ini jika menerima panggilan Alfan tak pernah memintanya untuk keluar walaupun itu keluarganya sekalipun.

“Mas Alfan, boleh aku tanya?” Zahra menyuarakan diri.

“Hm,” gumamnya tanpa menoleh ke arah Zahra yang sedang duduk di sofa. 

“Siapa Queen Bulan itu, Mas?” 

Deg! 


To Be Continue ….

ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang