Bab 15

6.3K 282 2
                                    

Keduanya duduk di meja makan dalam keheningan. Baik Alfan atau Bulan tidak ada yang bicara sebelum sarapan usai.

Sebelum turun ke meja makan tadi, Bulan sempat menyiapkan beberapa pakaian untuk suaminya selama menginap di rumah Zahra, istri pertamanya. Menyebut istri pertama dan kedua selalu membuat sudut hatinya terluka tapi selalu disembunyikan.

“Nanti pulang aku langsung ke rumah Zahra,” ucap Alfan memulai obrolan.

“Aku tahu. Pakaian dan keperluan Mas Alfan sudah aku siapkan. Jika kekurangan apa pun, langsung hubungi saja,” balas Bulan dengan senyum manis.

“Terima kasih. Maaf harus meninggalkanmu sendiri,” ucap Alfan penuh sesal.

Bulan mengangguk mengerti. Inilah resiko yang harus diambil saat ia memilih bertahan.

“Kita sudah sepakat. Aku mengerti,” sahut Bulan menghentikan. Sebelum pembahasan ini melukai hatinya lebih baik dihentikan.

Setelah sarapan keduanya memutuskan berangkat bersama walau dengan mobil yang berbeda. Arah tempat kerja keduanya memang sejalan hanya saja ketika di persimpangan jalan yang dilalui keduanya berbeda. Sama seperti hubungan rumah tangga mereka yang terlihat di luar baik-baik saja tapi ternyata memiliki cabang di dalamnya.

Bulan sampai lupa waktu karena kesibukannya yang semakin dikejar waktu. Bahkan ia sampai melewatkan makan siang andai saja asistennya tidak mengingatnya berulang kali.

Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk dari luar dan sang asisten muncul setelahnya.

“Ada yang mau bertemu dengan Anda, Nona.”

Bulan memberikan tatapan mengancam. “Berhenti memanggilku nona. Aku bukan nona muda!” ucapnya dengan ketus.

Bulan selalu menolak jika pegawainya memanggil dengan sebutan nona dan lebih suka dipanggil dengan sebutan mbak saja. Katanya itu lebih membuat mereka tidak canggung dan gampang akrab walaupun Mami Tari selalu memprotesnya karena dianggap kurang sopan memanggil atasan dengan sebutan itu.

Namun Bulan selalu menjawab ucapan ibunya dengan jawaban yang sama. “I don't care!”

“Siapa yang mencariku, Arum. Jangan membuang waktu dengan bicara tidak jelas,” ucap Bulan terlihat malas.

“Tuan Marvin. Katanya sahabat Anda.”

Bulan meletakkan pena dan menghela napas pelan. Ada apa Marvin mencarinya, batinnya.

Hanya anggukan yang diberikan sebagai persetujuan untuk membiarkan lelaki itu menemuinya. Dan benar saja, setelahnya lelaki itu masuk dengan wajah yang sedikit bersalah ketika melihat kesibukannya.

Sorry, Marvin. Aku tidak bisa berlama-lama karena pekerjaanku menunggu,” ucap Bulan menunjuk manekin dan beberapa gaun yang berserakan.

Marvin mengangguk. “Apa kamu benar sudah menikah?”

“Tentu saja. Untuk apa aku berbohong, Marvin.” Bulan menggelengkan kepala karena Marvin masih saja tidak mempercayai ucapannya.

“Jika kamu tidak yakin maka kamu bisa bertanya ke kantor catatan sipil. Statusku sudah berubah. I'm not single.”

Embusan napas kasar dari mulut Marvin membuat Bulan mendongak. Tatapan keduanya beradu dan Bulan memilih memalingkan wajah dan memutuskan tatapan.

“Kamu bahagia?”

Bulan terkekeh sebelum menjawab, “Apa menurutmu aku tidak bahagia?” Membalikkan pertanyaan tanpa menjawab pertanyaan sebelumnya.

Tanpa mengatakan apa-apa Marvin bangkit dari duduknya dan melangkah pergi tanpa sepatah kata pun.

ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang