Bab 21

5.6K 272 0
                                    

“Mas Alfan, tadi Zahra menghubungiku. Menanyakan tentang Mas yang tidak mengabarinya sama sekali.”

“Biarkan saja,” sahut Alfan terlihat malas.

“Mas Alfan jangan begitu. Zahra juga istrimu. Kamu sudah berjanji untuk adil pada kami berdua.”

“Aku hanya membiarkan dia intropeksi diri akan kesalahannya.”

“Zahra sudah minta maaf, Mas.”

“Sudahlah, aku tidak mau membahasnya.” Alfan menghindari Bulan dengan berjalan menuju balkon kamar.

Bulan menghela napas pelan. Semenjak kapan Alfan menjadi keras kepala. Atau memang sebenarnya Alfan memang seperti ini?

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bulan memilih turun ke lantai bawah, mungkin di sana masih ada Mama Silvi yang biasanya akan duduk di ruang keluarga.

Tebakan Bulan tentu saja benar. Ada Mama Silvi dan Papa Andre di sana. Saat ia melangkah, kedatangannya membuat dua mertuanya menoleh.

“Kenapa belum tidur. Ada apa, Bulan?” tanya Mama Silvi dengan senyum hangat seperti biasa.

“Tidak apa, Ma. Belum bisa tidur,” jawab Bulan mendudukkan diri di sofa tunggal.

“Bagaimana pekerjaanmu. Lancar?”

“Lancar, Ma.”

“Alfan sudah tidur?”

“Belum, Ma. Masih ada pekerjaan.”

“Sabar ya, semenjak Alfan jadi pemimpin pekerjaannya memang banyak sekali. Mama dengar, kamu sering bantuin Alfan.”

Bulan mengangguk. “Hanya yang aku tahu saja, Ma.”

Mama Silvi dan Papa Andre sudah naik ke atas kamar untuk istirahat. Sementara Bulan masih duduk di sana dengan televisi yang masih menyala, tapi pikiran Bulan sedang mengelana.

Bahkan Bulan tidak sadar bahwa saat ini Alfan berjalan ke arahnya. Alfan langsung mengambil tempat duduk di sofa panjang, bahkan kehadirannya sama sekali tak dianggap.

“Bulan!” panggil Alfan sambil menyentuh bahu Bulan pelan.

“Eh!" Bulan tersentak karena sentuhan lembut di bahunya. Kemudian menoleh dan mendapati Alfan ada di sampingnya. “Mas Alfan,” sapa Bulan dengan senyum. “Ada apa, Mas?”

“Seharusnya aku yang tanya. Kamu kenapa melamun?”

Bulan tidak menjawab dan hanya menggelengkan kepala. “Ini sudah malam. Ayo istirahat. Besok aku mau bekerja.”

Alfan menghela napas pelan dan langsung mengikuti Bulan yang sudah lebih dulu naik ke kamar.

Keduanya sudah naik ke atas ranjang. Bulan langsung merebahkan diri dan menarik selimutnya sampai sebatas pinggang kemudian mematikan lampu yang ada di atas meja.

“Jika Zahra bersalah, maka Mas Alfan wajib mengarahkannya untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi. Bukan dengan mengacuhkannya, Mas. Aku mengatakan ini bukan karena aku tidak menyukai Mas Alfan bersamaku, bukan. Aku hanya meluruskan agar semua ini tidak sampai berlarut-larut.” Bulan berbicara dengan bijak tanpa memandang siapa Zahra.

Sementara Alfan terdiam mendengar ucapan Bulan.

“Selamat malam, Mas Alfan,” ucap Bulan lagi saat tak mendapat jawaban apa pun dari Alfan.

Lama terdiam. Alfan memikirkan ucapan Bulan. Memang benar, seharusnya ia tidak mengacuhkan Zahra. Seharusnya ia memberikan contoh yang baik kepada wanita itu. Tapi, sekali lagi, ada perasaan sesak di hatinya ketika melihat perubahan Zahra yang begitu drastis.

ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang