Bab 8

5.9K 282 0
                                    

Alfan sudah sampai di Jakarta lebih dulu. Hanya memerlukan waktu sekitar dua setengah jam untuk sampai di Jakarta. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan  di atas rata-rata mengingat ini malam minggu, ia tak ingin terjebak kemacetan di jalan.

Matanya melirik ke arah jam di pergelangan tangan, ia memilih langsung menjemput Bulan karena ia yakin bahwa istrinya telah tiba.

Perbedaan waktu Jakarta-Bali hanya satu jam. Seharusnya sekitar pukul lima atau setengah enam, Bulan sudah tiba.

Alfan menunggu di pintu kedatangan. Sudah hampir dua puluh menit ia menunggu namun tak kelihatan kehadiran Bulan.

Ia mengeluarkan ponsel berniat menghubungi istrinya ketika tepukan di bahu membuatnya terkejut. Segera saja ia menoleh dan melihat seorang wanita dengan jumpsuit panjang dengan rambut yang acak-acakan berdiri di hadapannya. Wajahnya tertutup masker hingga tak terlalu jelas terlihat.

“Mas Alfan,” panggilnya.

Suara itu … Alfan yang mengenali suaranya langsung membelalakkan mata.

“Bulan?” tebak Alfan yang dijawab dengan anggukan kepala oleh wanita itu. “Dari mana? Kok dari arah lain?” tanyanya karena Bulan tidak keluar dari pintu kedatangan melainkan dari arah lain.

“Dari toilet sebentar,” jawabnya.

Alfan menatap Bulan seolah meneliti penampilannya. Namun tidak ada yang aneh, semuanya masih sama hanya saja ia menyadari bahwa warna rambut istrinya telah berganti.

“Kamu warnai rambutmu?”

“Iya,” jawab Bulan singkat.

Setelahnya tak ada lagi obrolan. Alfan mengambil dua koper yang dibawa istrinya.

“Kamu bawa baju sebanyak ini?” tanya Alfan ketika mereka berjalan menuju tempat dimana mobilnya berada.

Bulan menggeleng. “Bukan, Mas. Yang satu koper isinya oleh-oleh.”

“Sebanyak itu? Apa saja yang kamu beli,” gumamnya diiringi keterkejutan di wajahnya.

Bulan tak merespon. Ia masuk ke dalam mobil lebih dulu ketika Alfan masih memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil.

Mobil kemudian melaju membelah jalanan kota Jakarta yang mulai padat merayap.

“Langsung ke rumah Mama Silvi ya, Mas. Aku sudah berjanji akan langsung ke sana,” kata Bulan.

“Oke!”

Hanya membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit akhirnya mobil yang dikendarai Alfan telah tiba di sebuah perumahan mewah dengan pemandangan yang hijau dan asri dengan tumbuhan segar di sepanjang jalan masuk ke dalam perumahan.

Mediterania Town, namanya.

Berada di sini saat pagi hari mungkin akan menyenangkan karena suasana yang damai seperti di desa.

“Di sini sejuk ya,” gumam Bulan.

Alfan mengangguk setuju.

“Kenapa Mas Alfan tidak membeli rumah di sini saja?” tanya Bulan.

“Mahal, tabunganku belum cukup.” Diiringi dengan ledakan tawa pelan seolah ucapannya menunjukkan keseriusan.

Bulan menatap Alfan dengan menaikkan alisnya. “Aku serius bertanya, Mas.”

Alfan menghentikan tawanya. Ia menoleh ke arah Bulan yang juga tengah melirik ke arahnya.

“Memang benar. Uangku tidak cukup untuk beli rumah di sini. Apa yang aku miliki tidak sebanyak orang tuaku,” ucap Alfan dengan nada serius.

ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang