Bab 17

5.7K 296 1
                                    

Pagi ini hari sangat tenang dan indah. Matahari baru saja mulai terbit dari cakrawala berwarna merah. Mewarnai langit indah dengan warna jingga yang sangat cantik.

Banyak orang yang telah melakukan aktivitas di luar rumah. Tapi bagi sebagian orang minggu adalah hari untuk bermalas-malasan.

Udara sangat sejuk. Segalanya tampak begitu tenang dan damai, namun tidak demikian dengan salah satu rumah yang terdengar teriakan melengking yang jelas menarik perhatian tetangga di sekitarnya.

Rumah mewah yang telah diatasnamakan Bulan itu tengah kedatangan tamu tidak diundang yang seketika membuat suasana hati Bulan memburuk.

Zahra, wanita itu datang dengan cucuran air mata dan menarik perhatian Alfan dengan wajah polos minta digampar.

Saat Alfan bertanya tentang apa yang terjadi, entah pikiran dari mana tiba-tiba Zahra menjawab, “Mbak Bulan datang dan memberikan ini padaku. Dia memintaku pergi dari sisimu dan menawarkan uang sebagai imbalannya. Tentu aku tidak akan melakukan itu, Mas. Aku mencintaimu dan tidak akan pernah meninggalkanmu.”

Mata Bulan sampai terbelalak mendengar penuturan Zahra. Apa maksudnya? Bahkan ia tak pernah mendatangi rumah wanita itu hanya untuk saling menyapa.

“Mbak Bulan menganggap aku tidak pantas menjadi istrimu karena status sosial kita berbeda. Apa memang serendah itu Mas pandangan orang terhadap keluarga miskin sepertiku?” Bulan mengepalkan tangan. Bisa-bisanya Zahra mengatakan omong kosong yang sama sekali tidak dilakukan.

“Katakan sesuatu, Mas. Apakah aku tidak pantas mencinta dan dicinta. Kenapa hidupku harus terjebak di antara kisah yang sulit ini,” tuntut Zahra yang terus mendesak Alfan untuk merespon segala yang dikatakan.

Bulan memejamkan mata melihat drama yang dilakukan Zahra.

Tidak, Mas. Semua ucapannya tidak benar, itu fitnah. Aku tidak melakukan itu, batin Bulan berharap.

“Mbak Bulan tidak menginginkan aku, Mas.”

Alfan masih saja diam. Hanya tangannya yang bergerak untuk mengusap punggung Zahra yang bergetar. Tatapannya terarah pada Bulan yang masih duduk dengan tenang. Manik mata keduanya bertemu, ada rasa sesak di hati Alfan ketika Bulan memalingkan wajah enggan menatapnya lama.

Bulan melempar asal majalah yang dipegang ke sembarang arah. Kekesalannya selalu datang saat Zahra mengganggu di rumahnya. Ini bukan kali pertama wanita itu datang dan membuat keributan di waktu yang kurang tepat.

Zahra selalu datang dengan berbagai alasan yang menyudutkan dan membuatnya terlihat bersalah di mata Alfan. Tapi setidaknya Alfan kini sudah bisa bersikap tegas walau terkadang rasa iba lebih mendominasi.

Yeah, harus diakui selama dua bulan ini hubungannya dengan Alfan memang semakin dekat. Rasa nyaman itu membuat keduanya tak lagi canggung atau asing untuk berbicara banyak hal. Waktu yang mereka dapat selalu digunakan untuk terus mendekatkan diri. Hubungan itu semakin membaik bahkan tak pernah ada lagi perdebatan mulut di antara mereka.

Diam-diam perasaan itu telah tumbuh di hati keduanya walau hanya sebatas rasa nyaman. Bukankah rasa sayang itu diawali dari sesuatu yang awalnya membuat nyaman?

Maybe!

Bulan beralih menatap Zahra dengan tatapan dingin. “Kamu selalu menuduhku tanpa bukti, Zahra. Aku wanita berpendidikan yang tidak akan mungkin melakukan hal kotor seperti yang kamu katakan. Untuk apa aku melakukan hal seperti itu?”

“Karena Mbak Bulan hanya ingin mendapatkan Mas Alfan seorang diri. Tapi harus Mbak tahu, aku juga istrinya,” ucap Zahra kembali dengan isak tangis yang membuat Bulan semakin muak.

ISTRI DI ATAS KERTAS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang