[Part 26: meninggal?]•••
Semua sudah berlalu dengan cepat, dari kejadian di malam Minggu lalu, sampai hari Sabtu saat inj, saat ini telah seminggu setelah Albi meninggalkan nya untuk bertahan antara hidup dan mati. Meskipun ketiga sahabat Albi mungkin tak akan memperbolehkannya untuk menjenguk Albi, dia tetap datang ke rumah sakit untuk sekedar menjenguk walau hanya dari jendela.
Seperti saat ini, dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan tas sekolah berwarna hitam yang sudah berada di bahunya.
Dia berjalan tergesa-gesa, dia menyeka keringatnya yang menetes melewati matanya. Dia lelah, karena tadi tidak ada yang mengantarnya ke rumah sakit, angkot atau taksi pun tidak ada yang lewat di depan rumahnya, alhasil dia harus berlari ke pangkalan ojek terlebih dahulu. Mungkin saja, dia bisa memesan taksi online atau ojek online, tapi salahkan saja dirinya yang lupa men-charge baterai handphone nya.
Betapa baiknya dia, betapa sabarnya dia menghadapi cobaan yang terus datang kepada-nya.
Berdiri di depan pintu kamar inap Albi, dia perlahan menyentuh gagang pintu, telinganya ia letakkan di permukaan pintu, satu kata yang mendeskripsikan keadaan di dalam.
Sepi
Tumben sekali? Biasanya masih ada suara bisik-bisik di dalam.
Dia beralih membuka pintu perlahan. Kosong, tidak ada orang? Kemana semuanya? Kemana kekasihnya? Dan kemana saudara tiri nya?
Pikirannya berkecamuk, dia berlari ke tempat resepsionis, dan menanyakan keberadaan Albi disana.
"Sus, saya mau tanya, pasien atas nama Albiano Stefflan Frederick itu dimana ya?" tanya Serra mencoba tetap tenang.
"Sebentar mbak, saya cek dulu,"
Perawat tersebut mengetikkan sesuatu di komputer nya. Lalu menghadap Serra, "Pasien atas nama Albiano telah dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar di luar kota, untuk mendapatkan perawatan yang lebih memadai," jelas perawat tersebut.
Kaget? Jelas. Bagaimanapun, dia kekasihnya. Namun, mengapa orang-orang begitu tak memperhatikan nya dan tak memberitahu nya tentang ini?
"Kalau boleh tau, dipindah ke rumah sakit mana, ya, sus?"
"Kalau itu, kami tidak bisa memberitahu, mbak bisa tanya ke keluarga pasien,"
Kenyataan apalagi ini?
"Baik, Sus. Terima kasih, saya permisi dulu," ucap Serra kemudian meninggalkan tempat resepsionis tersebut. Berjalan lunglai melanjutkan perjalanan nya, namun kali ini dia tak berjalan ke arah sekolahnya, biarkan dia membolos terlebih dahulu khusus saat ini. Dia hanya ingin sendiri, dan...
Menyegarkan pikirannya, juga...
Menata hatinya untuk lebih kuat kedepannya.
Serra, tidak menangis? Hal yang mungkin tak akan mungkin terjadi. Sejak tadi, dia menahan air matanya agar tidak keluar. Mungkin semata tak akan berpihak padanya. Dari dulu, sekarang, atau sampai nanti?
Dia berjalan lurus ke arah danau yang dulu sering dia kunjungi bersama orang yang ia sayangi, Albi. Dia duduk di bangku panjang yang sudah tersedia disana. Pandangannya kosong, tak ada yang ingin ia pandang. Rasanya, semuanya hampa.
Dia menghapus air matanya kasar, dia menoleh saat ponselnya yang berada di sampingnya berdering menunjukkan ratusan pesan yang masuk.
Dia membukanya, dan benar saja, kedua sahabatnya itu menyerangnya dengan puluhan pesan di grup khususnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AlbiSer [End]
Teen FictionKalo maju, sakit yang gue dapat. Kalo mundur, sakit hati juga yang gue dapat ~Serralina "Yang pacar lo itu gue atau kembaran gue?" "Bi, bisa jemput gue?" "Sorry, gue nggak bisa. Gue harus jemput Sella." "Albi, lo bisa jenguk gue nggak? Gue sakit" "S...