11. Drama Romantica

3.2K 138 1
                                    

Kania membuka matanya ketika merasakan sinar mentari membelai wajahnya. Memaksa diri bangun untuk menutup kembali gorden jendela kamarnya. Tidak suka jika sinar mentari menyilaukan matanya. Terlebih kondisinya masih belum bisa dikatakan baik. Tenggorokannya masih kering. Kepalanya sedikit pening ketika dibuat berjalan.

Baru saja menyandarkan kepalanya di punggung ranjang. Kania mendengar suara piring stainless-nya jatuh. Diikuti suara kekacauan selanjutnya. Sambil memejamkan mata, Kania memijit pangkal hidungnya. Menyadari bahwa Devan masih berada di unitnya.

Dengan langkah berat Kania menyeret kakinya. Mendapati pemandangan Devan sedang berkutat di dapur. Sayur-sayuran berserakan di sana. Membuat kepala Kania semakin pusing dibuatnya.

Menyadari keberadaan Kania, Devan menyapa, "Hai. Kamu duduk dulu." Mendekat ke arah Kania. Memapahnya menuju stool pantry yang sudah bersih. "Aku buatin bubur ayam buat kamu."

Kania menyipitkan mata tidak percaya.

"Tunggu di sini. Aku mau siapin buburnya." Devan dengan sangat percaya diri kembali berjalan ke arah pantry. Menarik mangkuk. Menyiapkan bubur untuk Kania. "Sudah siap. Minumnya mau apa?"

Kania menggeleng. "Gausah," jawabnya. Menoleh ke kanan kiri. Apartemennya mendadak bersih. Hanya bagian dapur yang sedikit berantakan karena ulah Devan. "Tidur dimana?" lanjutnya.

"Makan aja dulu. Tanya-tanyanya nanti aja. Aku buatin susu panas ya?"

Kania menurut. Menghabiskan semangkuk bubur ayam buatan Devan. Tidak terlalu buruk karena bubur itu memang tidak mengecewakan. Siapapun yang membuatnya pasti sudah bisa dikatakan jago masak. Tidak terlalu asin dan manis, semuanya pas.

"Kemarin kamu ngigo selama tidur."

Kania menoleh ke arah Devan yang saat itu sedang membersihkan dapurnya. Kembali bersih seperti semula. Bedanya kali ini dapurnya tidak berdebu.

"Kamu jarang pakek pantry ya? Kalau makan gimana?" tanya Devan penasaran. Mengalihkan pembicaraan yang sudah dibangunnya tadi.

"Order." Yang dikatakan Devan memang benar. Pantry-nya sama sekali tidak tersentuh. Atau mungkin daerah yang bisa dibilang red zone unit apartemennya. Kania bukan orang yang pandai menggunakan alat yang dinamakan kompor itu. Sekaligus tidak tahu menahu alat yang digunakan untuk menghidupkan api berbahan bakar gas atau listrik. Yang dia tahu setiap bulannya membayar uang listrik penagihan. Kalaupun ia mau memasak mie instan, ia bukan orang yang harus menanak mie di kompor melainkan memilih merendam mie dengan air panas dispenser sampai masak.

"Dari dulu aku suka masak." Entah menyindir atau apa, itulah yang keluar dari mulut Devan kemudian. "Tapi emang masih suka berantakan. Kulkasnya udah aku isi ikan sama daging-dagingan. Kamu tinggal masak kalau mau."

"Aku nggak suka masak."

"Kalau gitu aku mau masak buat kamu setiap hari," jawab Devan jelas penuh semangat.

Kania terlihat tidak suka. Kini yang dilakukannya menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil memperhatikan Devan. "Gaperlu."

"Perlu Kania. Order makan setiap hari nggak baik."

"Bagian mana yang nggak baik?" tanya sedikit emosi. Dia bukan orang yang dengan mudah menuruti mau orang lain. Apalagi kehadiran Devan yang tiba-tiba sangat mengganggunya.

"Kualitas makanan tentunya. Kita nggak tahu yang disajikan restoran bersih atau nggak. Setidaknya dengan kamu makan setiap hari masakan rumah, itu akan lebih meminimalisir itu semua." Devan dengan senyumnya berusaha membujuk Kania. Tentu saja. Kania tidak akan mudah begitu saja menerimanya. Devan sadar akan hal itu.

By Your Side [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang