Dinda berdiri di samping Kania begitu melihat Kania mengetuk kepala menggunakan bulpoin. Beberapa kali Kania juga terlihat memijit pangkal hidungnya. Awalnya mengabaikan, tapi Dinda merasa kalau wajah sahabatnya itu kian waktu kian pucat. Dinda sebelumnya sudah meminta kepada Kania untuk pulang saja, semua pekerjaannya mending diselesaikan besok, tetapi Kania tetap keras kepala. Yang pada akhirnya seperti ini, Dinda berdiri memastikan kondisi sahabatnya itu baik-baik saja sambil mengulurkan secangkir kopi di tangannya.
Kania menerima uluran kopi dari tangan Dinda. Segera meneguknya berharap pusingnya hilang. Tetapi rasanya sia-sia. Pusingnya masih tidak bisa hilang. Ini yang terjadi setiap kali dia minum morning after pill.
"Lo beneran udah kayak orang sakau tau, Nek," ujar Dinda heran sendiri. "Mending pulang aja deh daripada nggak produktif gini." Menunjuk muka Kania yang berantakan. "Mau gue suruh Mas Devan jemput aja?"
Mendengar nama Devan disebut Kania menggeleng.
Dinda bergerak kembali ke tempatnya dengan wajah cemberut ketika Kania menolak usulannya.
"Kalau lo nggak mau pulang mending ke ruang rest deh. Beneran gue khawatir banget lo. Kayak gitu bilangnya nggak papa. Orang muka udah pucet banget. Habis makan apa sih lo? Kok sampe segitunya. Lo kan bukan orang yang mudah sakit kalau salah makan sesuatu. Baru kali ini gue lihat lo pucet banget kek gitu. Ganggu banget sih lo di sini. Gue jadi parno sendiri. Takut lo pingsan," keluh Dinda.
Kania menyandarkan tubuhnya, lalu berkata, "nggak papa kok," ujarnya. "Emang lagi capek banget."
"Ya udah istirahat sana."
Perintah Dinda diamini oleh Kania. Dia bergegas meninggalkan kubikelnya. Membawa sebotol mineral untuk menemaninya. Bukan pergi ke ruang rest, dia malah pergi ke kantin setelah izin ke pihak HRD. Mengirim pesan kepada Devan untuk menemuinya. Hanya dengan satu pesan itu Devan langsung menuju kantin gedung Kania. Dia melihat Kania duduk di sana. Di kursi paling pojok tersender di tembok sambil menundukkan kepala. Sepertinya sedang terpejam.
"Hei kamu nggak papa kan?" tanya Devan begitu melihat Kania duduk lemas.
"Efek obatnya Dev, aku beneran lemes banget. Pusing. Pengen muntah juga."
Devan mengernyit tidak paham maksud Kania. Hanya bertanya obat apa yang dimaksud Kania.
"Kita ke rumah sakit atau gimana?" tanya Devan kebingungan sendiri. Memilih untuk merangkul Kania. "Ke tempatku aja? Istirahat di sana? Gimana?" lanjutnya. Masih kebingungan. Sementara Kania memilih untuk diam. Tidak menjawab sedikitpun. Bahkan Kania memilih untuk menyandarkan kepalanya tepat di bahu Devan. "Ya udah gini aja. Nggak perlu kemana-mana deh."
Pada akhirnya Devan memutuskan. Membiarkan Kania tiduran di bahunya. Tetap berada di kantin dengan beberapa orang memandang ke arahnya. Dan juga dia memesan secangkir teh hangat untuk Kania. Sesekali dia tersenyum melihat bagaimana nyamannya Kania berada di sampingnya. Tentu saja dia sangat bangga melihat Kania membutuhkannya. Di balik keras kepala Kania, setiap kali sedang sakit, gadis ini terlihat sangat manja dan ingin diperhatikan.
Devan sempat menawarkan kepada Kania untuk minum teh hangatnya. Sontak Kania menggeleng. Bibirnya merengut.
Devan hanya bisa menangkap pesan kalau Kania tidak ingin minum. Tanpa diminta Devan akhirnya minum teh hangat yang tadinya ditawarkan untuk Kania. Dia pikir Kania benar-benar tidak mau minum. Jadi dia saja yang minum. Sayangnya, itu tidak benar, Kania malah memukul dadanya cukup kencang sambil merengut manja di hadapan Devan.
"Kok diminum sih?"
Pukulan Kania yang tidak lebih hanya sebuah tepukan kecil bagi Devan, justru membuat Devan berusaha menahan senyum. "Ya kamu nggak mau, aku minum aja. Siapa suruh bilang -nggak- tadi. Padahal kamu lagi sakit loh Kani. Teh jahe kayak gini tuh harusnya baik buat tubuh kamu. Kamu minum obat apa sih kok bisa kek gini?" tanya Devan heran sendiri. Kania malah kembali tiduran di pundaknya. Kembali mengabaikan pertanyaan Devan.
KAMU SEDANG MEMBACA
By Your Side [End]
ChickLit21+ (Completed) Hidup tidak mudah untuk Kania. Kepercayaannya akan cinta dan komitmen hancur setelah kelakuan ayahnya di masa lalu. Hidupnya hancur bersama ingatan masa lalu yang terus menghantuinya. Menjadi rekaman film yang terus berputar tanpa en...