32. Mengingat Kembali

1.7K 74 4
                                    

"Kita nikah aja yuk?"

Tanpa cela ucapan itu keluar dari mulut Devan. Dengan sangat santai sambil mengarahkan mobilnya memecah jalanan ibukota. Meskipun dia sama sekali tidak berani memandang wajah Kania.

"Lo gila, huh?" bentak Kania sambil meraup wajahnya. Tidak percaya dengan perkataan yang diberikan oleh Devan.

"Kita sama-sama saling butuh, Kania. Aku nggak mau ambil resiko semisal kamu tiba-tiba kamu hamil."

"Aku minum morning after pill," tegas Kania.

"Pakek kondom aja bisa bocor Kania. Apalagi morning after pill. Resikonya masih tetep ada."

Kania mengalihkan pandangannya. Ingin sekali turun saat ini juga. "Lagain kalaupun kita nikah, siapa bilang aku mau hamil? Aku bisa gugurin kandunganku sendiri kalau aku mau."

Devan mendengus tidak percaya. Tapi sekali lagi yang dihadapinya adalah Kania. Dia tidak bisa mempermasalahkan hal itu. Kania tetaplah Kania. Orang yang sangat keras kepala.

"AKU MAU BERHENTI DI SINI."

"Aku antar sampai apartemen."

Kania menatap jengkel Devan. "Aku mau berhenti di sini," pintah Kania menggebu-gebu.

"Ya udah aku minta maaf soal nikah. Tapi aku mau antar kamu sampai apartemen." Devan memaksa Kania. "Aku nggak bakal bahas soal nikah-nikah lagi," guman Devan. Membelokkan mobil Kania ke arah daerah apartemen.

Hening... Kania enggan membuka suara. Sampai mobilnya benar-benar menyentuh pelataran lobi.

Cklek.... Suara kunci otomatis mobil terbuka. Kania sudah hendak meraih ganggang pintu setelah mendapatkan tasnya. Terlihat ingin turun dengan muka kusut. Sepertinya masih kesal. Tidak sedikitpun menoleh ke arah Devan yang juga terlihat mau turun untuk memberikan kunci mobil Kania.

Baru saja hendak membuka pintu, perkataan lain meluncur dari bibir Devan. "Kamu coba ingetin aku lagi kenapa hubungan kita jadi seperti ini." Sambil berkata hendak turun dari mobil. Kakinya sudah menggantung keluar sambil menunggu jawaban dari Kania. Sementara itu Kania terlihat mengatur napas. Mengurungkan niatnya keluar dari mobilnya sendiri.

Kania melihat ke arah Devan dengan mata kesalnya. Api matanya sudah berkobar meskipun sudah sedikit dipadamkan. "Kamu juga sudah tahu artinya hubungan kita ini apa."

"Jangan langsung masuk. Parkir dulu mobilnya. Aku langsung pulang habis ini."

Kania buru-buru keluar untuk mengganti posisi. Dari yang sekedar penumpang kini pindah ke kemudi.

"Buang saja kertas perjanjiannya. Kita hanya butuh status friends with benefit setelah ini kan? Kamu tau meskipun kita nggak nikah, perjanjian itu sudah seperti surat nikah. Saling menjerat satu sama lain," gumam Devan.

Kania mulai merangsek ke kursi kemudi. Menutup pintunya dengan sangat keras hingga hampir saja menjepit jemari Devan kalau cowok itu tidak sigap. Ia hanya bisa mendengus begitu Kania sudah menjalankan mobilnya. Sedikit menggaruk kepalanya sendiri. Kuwalahan tentu saja menghadapi gadis seperti itu.

****

"Devan!!"

Devan langsung mengurungkan niatnya untuk naik ke lantai atas. Bunda terlihat berdiri tak jauh dari tempatnya.

Bunda langsung menyodorkan hasil pemeriksaan jantung Devan. Surat amplop putih berlogokan rumah sakit itu masih rapi. Pertanda Bunda menjaga privasinya. Meskipun dia tahu Bunda sangat penasaran dengan hasil check up-nya. Yap, Bunda masih berdiri di depan Devan sambil menunggu sesuatu yang tidak bisa dilewatkan.

By Your Side [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang