Kania baru saja menghempaskan tubuh di balik kubikelnya. Menoleh ke arah Dinda yang masih terlihat di balik kubikel, memasang wajah bete seperti biasa. Anak itu sepertinya sama sekali tidak menyukai pekerjaannya saat ini.
Kania menggeleng heran. Sebelum menyadari ada sebuah paper cup nangkring di mejanya. Dengan tulisan 'Morning Love From Devan".
Sekilas Dinda memandangnya. Sebelum akhirnya kembali menatap monitor. Berusaha sepenuhnya mengabaikan Kania meskipun sebenarnya terlihat ingin bicara. Kania tahu kalau sahabatnya itu tidak akan pernah bisa marah terlalu lama hanya karena masalah sepele seperti kemarin.
Hanya selang beberapa detik, Dinda sudah mendorong kursinya mendekat ke arah Kania. "Pinjem concealer," ujarnya saat itu. Tidak ada babi-bu lagi sampai akhirnya mengambil paksa concealer di tangan Kania. Membuat Kania awalnya yang biasa saja, menjadi kesal dengan tingkah Dinda.
Kania akhirnya mendorong kursinya mundur. "Apa sih Din, marah lo nggak jelas banget tau nggak. Tiba-tiba pinjem concealer. Tapi marah-marah. Aneh," guman Kania sambil membenarkan posisi duduknya. Sedikit menghindari Dinda yang masih mencoba mendekat ke arahnya.
"Tengkuk lo." Dinda menunjuk tengkuknya sendiri. "Ada bekas cipokan," tawa lolos di bibir Dinda. "Bodoh!" umpatnya.
Kania yang saat itu bingung, langsung menyapukan tangannya ke tengkuk. Sesuai seperti yang ditunjukkan Dinda, itu berada di bagian bawah telinganya persis.
"Kulit lo putih, bekasnya kelihatan banget."
Kania mengernyit. Tadi pagi dia memang buru-buru pergi ke kantor. Tidak sempat melihat bekas ciuman Devan di tengkuknya. "Seriusan?" tanya Kania meraih kaca untuk melihat kissmark. Dinda segera menggunakan ponsel untuk memotret dan menunjukkan bekas itu.
Kania bergegas mengambil ponsel Dinda, memperhatikan foto itu. Benar, kelihatan sangat jelas. Padahal dia sempat keluar untuk rapat dengan direksi tadi. Dan sialnya, dengan tanda sejelas itu.
Dinda mendekat. Membuka concealer di leher Kania. Menyapukannya hingga tanda yang dibuat oleh Devan itu mulai memudar. Beberapa kali Dinda terlihat terkekeh dengan kebodohan Kania.
"Sialan lo, udah main berani. Cipokan lagi," ujar Dinda sambil menekan kissmark di leher Kania itu. "Lo kalau main yang pro dong. Suruh si Devan beri bekas di dada. Cuman di leheran doang, cupu lo."
Wajah Kania sudah merona. Kulit putihnya berubah kemerahan.
"Orang direksi pasti ngeh banget. Bokap lo juga pasti tau tuh. Gila lo mau cari mati."
"Kenapa nggak bilang daritadi sih?" tanya Kania panik. Memastikan tandanya benar-benar hilang ketika Dinda mulai mendorong kursinya menjauh. "Gue udah terlanjur malu. Apa kata orang tentang gue?"
"Ya udah lah. Yang penting vidio bokep lo nggak kesebar mah beres lah ya. Cuman tanda cipokan doang nggak bakal buat pamor lo jadi turun. Lagian nih ya, orang makin kelihatan cakep kalau ada kissmark. Gue akuin sih lo cakep banget sekarang."
"Sialan lo!" Kania sudah hampir melemparkan concealer kalau saja tidak ingat harganya lumayan menguras dompet untuk barang sekecil itu.
"Lain kali kalau bikin tanda jangan disitu lah. Di dada aja, lebih, aahhhhhh," desah Dinda menggoda Kania. Beruntung ruangannya sepi. Anak-anak lain sepertinya sedang ada proyek lapangan.
Hari ini, tidak ada pesan dari Devan yang datang. Hanya segelas paper cup di hadapannya. Biasanya Devan juga mengirimkan makan siang, hari ini makanan itu tidak ada. Pagi tadi Devan memang buru-buru meninggalkan unitnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
By Your Side [End]
ChickLit21+ (Completed) Hidup tidak mudah untuk Kania. Kepercayaannya akan cinta dan komitmen hancur setelah kelakuan ayahnya di masa lalu. Hidupnya hancur bersama ingatan masa lalu yang terus menghantuinya. Menjadi rekaman film yang terus berputar tanpa en...