41. Is This Love?

1.8K 85 1
                                    

Kania membuka mata begitu mendengar suara adzan memenuhi telinganya. Jam weker menunjukkan pukul empat lebih lima belas pagi. Masih terlalu pagi untuknya bangun. Mama terlihat tertidur di ranjang yang disediakan untuk pengunjung.

Keadaan Kania jauh lebih baik. Meskipun wajahnya masih terlihat pucat. Dia sudah bisa duduk bersandar di punggung brankar. Bahkan kondisinya membaik cepat. Kania hanya mengingat Devan setiap kali dia berbaring lemah seperti ini. Semua perhatian Devan, dia merindukan semua itu.

Dia mengingat bagaimana cara Devan memberikan kenyamanan untuknya, hal yang tidak pernah berhasil dilakukan laki-laki lain.

Kania mengingat hari itu. Dimana Devan terasa sangat manja kepadanya.

"Aku nggak mau pulang."

Kania mendongakkan wajah dari monitor laptop untuk menoleh ke arah Devan yang saat itu sedang tiduran sambil bermain ponsel. "Bunda kamu tadi minta kamu pulang loh, Dev."

"Kan aku udah bilang, aku maunya di tempat kamu."

Kania mendelik ke arahnya. "Ga usah manja."

"Dimanjain kamu nggak papa," ujar Devan sambil menarik pinggul Kania agar lebih dekat dengannya. Kania sama sekali tidak menolak ketika Devan dengan sengaja mencium pinggulnya.

Kania hanya mengabaikan.

Tiba-tiba Devan menarik laptop dari tangan Kania. Kania baru ingin protes, pekerjaannya akan menumpuk kalau dibiarkan begitu saja. Namun Devan lebih dulu melempar tatapan tajam ke arah Kania. "Istirahat dulu, sini aku ajarin main game tembak-tembakan."

"Aku nggak becanda, Dev."

Devan mendekatkan wajahnya di pundak Kania, bersandar di sana. Membuat Kania kehilangan keseimbangan dan memasrahkan diri bersandar di punggung ranjang. Terpaksa memperhatikan Devan bermain game mobile.

"Mau coba main juga?"

"Nggak!" tolak Kania cepat.

Devan mengernyit. Tetap melanjutkan.

Kania menghela napas. Ikut tegang memperhatikan Devan bermain game serius seperti itu. "Kayak anak kecil tau nggak."

"Bagian mana yang kayak anak kecil?"

"Ya kayak anak kecil aja. Mana ada orang dewasa main game. Apalagi udah umur 30-an ke atas. Gila."

Devan diam. Tidak terpancing.

"Kalau kita nikah nanti, anak-anak bakal aku ajarin main game kayak gini. Biar respon mereka cepat. Ini juga melatih konsentrasi. Nggak terlalu loading otak mereka. Main game gini juga biar nggak gampang stress," ujar Devan. "Nggak kayak kamu yang terlalu serius," lanjutnya.

"Nggak aku biarin."

"Jadi kamu beneran mau nikah sama aku?" tanya Devan penuh harap. Tatapannya membuat Kania meremang sendiri.

"Siapa yang bilang mau nikah?"

"Ya tadi kamu bilang nggak mau biarin anak-anak main game. Itu maksudnya anak-anak kita kan?" Devan menaik turunkan alisnya sengaja menggoda Kania.

Gantian Kania yang memilih diam. Menyingkirkan kepala Devan dari bahunya.

"Mau nikah?" tanya Kania.

"Ha?"

Devan bingung harus menjawab apa. Wajah Kania memang berubah sangat serius. Bahkan kini sudah memposisikan diri tiduran di perut Devan. Seraya menyingkirkan ponsel di tangan Devan.

By Your Side [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang