Nama Kania muncul di layar ponsel ketika Devan baru saja memarkir motornya di depan kafe. Sambil melepaskan helm, Devan menatap ponsel dengan dahi berkerut. Kania jarang menghubunginya jika tidak penting. Dan setahunya Kania sudah pulang dari kantor. Sekitar 2 jam yang lalu. Ketika sudah ada di apartemen, Kania hanya akan menghabiskan waktunya untuk istirahat.
Penasaran, Devan menggeser tombol hijau di layar tersebut.
"Iya, Hallo?"
"Kamu dimana sekarang, Dev?"
"Baru sampai kafe. Mau kerja," jawab Devan enteng. "Kenapa? Udah kangen ya?" tanyanya bercanda.
Tidak ada jawaban setelahnya. Hanya gemrusuk suara benda jatuh di sana. Entah apa yang sudah dilakukan Kania dengan barang itu. "Kamu bisa ke sini nggak sekarang?"
Kerutan di dahi Devan kembali terlihat. "Kenapa?"
"Kamu nggak bisa ya ke sini? Lagi sibuk banget? Ya udah aku suruh Dinda aja datang kalau dia mau. Kamu lanjutin kerja aja."
Nada suara Kania terdengar sangat pasrah. Membuat Devan heran sendiri. "Kenapa emangnya Kani?"
"Perut gue sakit banget, Dev."
Devan terlihat panik setelahnya. Dia buru-buru memakai helm-nya kembali. Melajukan motornya mundur. Sementara tangan kirinya masih memegang ponsel di telinganya. Mengiyakan permintaan Kania untuk datang.
"Ya udah kamu tunggu di sana. Aku bawain obat sakit perut ya buat kamu," guman Devan terdengar panik. "Lima menit lagi."
"Nggak perlu ngebut."
Bagaimana bisa tidak ngebut dengan keadaan setengah khawatir?
Devan melajukan motornya dengan sangat cepat. Berusaha mengejar waktu agar Kania tidak menunggunya terlalu lama.
Tidak butuh waktu lama. Sekitar 10 menit dari kafe. Buru-buru Devan berjalan ke arah lobi, setelah membeli obat sakit perut di apotek dekat daerah apartemen Kania.
Devan bergerak cepat membuka pintu unit Kania. Melangkahi pantofel Kania yang tercecer di karpet sofa. Terlihat juga tas kerja yang dengan asal dilemparkan ke sofa. Kebiasaan Kania sepulang kerja.
Devan berusaha menahan diri untuk tidak membereskan barang-barang yang sudah tercecer di lantai seperti itu. Mencari Kania yang kemungkinan ada di kamarnya. Ternyata tidak ada. Devan segera mencari hingga dia mendengar gemercik kran kamar mandi.
"Kania?" panggil Devan. "Kamu di dalam?"
Suara air tak lagi terdengar ketika suara pintu mulai terbuka. Kania keluar dengan muka sangat kusut. Cepolan di rambutnya sudah berantakan. Melangkahkan kakinya setengah terseret keluar dari kamar mandi. Sedangkan tangan kanannya memegang perut bagian bawah.
Terlihat sangat kacau. Itulah yang bisa Devan simpulkan. Tidak menunggu waktu lama, Devan menyerahkan bungkusan plastik berisi obat sakit perut. "Kamu minum dulu. Kata Citra ini obat buat sakit perut. Tergantung sih, karna aku nggak tau kamu sakit apa. Aku beli semua obat, ini untuk ma'ag. Yang itu buat sembelit. Satunya lagi buat flu perut." Menunjukkan satu persatu obat yang sudah dibeli.
Kania malah menyandarkan tubuhnya di sofa. Tidur terlentang sepenuhnya mengabaikan perkataan Devan. Tentang obat itu sebenarnya tidak terlalu penting. Dia hanya ingin memejamkan mata. Malas jalan. Kenapa meminta Devan datang, dia hanya mau Devan membantunya mengambil ini itu kalau perlu. Terlalu malas untuk bergerak sendiri.
"Kamu mau minum yang mana?" tanya Devan sedikit kebingungan. Apalagi ketika melihat ekspesi Kania seperti itu. Memejamkan mata dengan muka kesakitan. "Aku ambil minum dulu ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
By Your Side [End]
ChickLit21+ (Completed) Hidup tidak mudah untuk Kania. Kepercayaannya akan cinta dan komitmen hancur setelah kelakuan ayahnya di masa lalu. Hidupnya hancur bersama ingatan masa lalu yang terus menghantuinya. Menjadi rekaman film yang terus berputar tanpa en...