Wajah lelah Kania pertama kali Devan lihat setelah membuka mata. Dia sangat menyukai setiap saat Kania memasang wajah seperti itu. Sangat cantik. Apalagi di posisi seperti itu, duduk menyilangkan kedua kakinya di atas sofa, memandang layar laptop. Sesekali terlihat menguap.
"Yang lain kemana?" tanya Devan membuat Kania spontan menoleh.
Buru-buru Kania berdiri, menghampiri Devan yang saat itu sudah mau mengambil posisi setengah duduk. "Jangan banyak gerak dulu katanya. Aku panggil dokter ya?" gumamnya sambil membantu Devan kembali ke posisi semula.
"Gausah. Ini gapapa kok."
"Iya, takutnya ada apa-apa," jawab Kania.
Bergegas dia menekan tombol di sebelah ranjang. Lalu memperhatikan lamat-lamat Devan yang kini memandang ke arah lain. Ke arah yang berlawanan.
Sambil menarik kursi di sebelahnya, Kania duduk. Menepuk pelan tangan Devan. "Lagi mikirin apa sih?"
Devan menoleh. Tersenyum samar. "Takut aja. Takut kamu pandang aku dengan cara lain."
Kania tertawa kecil. "Misalnya gimana nih? Bodoh tau nggak gitu?"
Belum sempat Devan membuka mulut. Pintu kamar unitnya terbuka. Ada dua dokter yang masuk kemudian. Meminta Kania untuk keluar selama pemeriksaan. Saat itu Devan melihat sorot kecewa dalam tatapan Kania. Yang pada akhirnya Kania benar-benar keluar membawa laptopnya.
Kania mengeluarkan ponsel. Seraya menghabiskan waktu sambil menunggu dokter keluar dari ruang inap Devan. Disusul Mama dan Bunda yang datang kemudian. Duduk di sebelahnya meskipun sama-sama saling diam.
"Nak Kania, kamu nggak makan?" tanya Bunda yang sepertinya sudah membuka diri untuk Kania.
"Nanti, Te," jawab Kania cuek.
"Ih kalau ngomong sama orang tua tuh jangan sok cuek gitu. Masih untung ditawarin makan sama Bundanya Devan." Mama menjadi gemas sendiri dengan tingkah Kania.
Kania hanya menanggapinya dengan gerakan pelan merubah posisi duduknya. Sedikit menyamping ke arah kiri menghindari Mama. "Kania bukan anak kecil, Mah."
Pukulan keras akhirnya mendarat di lengan Kania. Membuatnya meringis. "Ih Mah, sakit. Jahat banget sih jadi orang tua."
Bunda tertawa kecil memperhatikan pertengkaran ibu dan anak ini. Meskipun awalnya dia sedikit tidak suka dengan Kania, gadis itu memang tidak pernah menunjukkan kepanikannya sedikitpun di depan orang-orang, tapi makin ke sini dia juga semakin tahu kalau Kania sebenarnya sangat mengkhawatirkan Devan. Semua itu terbukti langsung oleh tindakannya. Sudah 3 hari ini Kania mengambil cuti kerjanya sekaligus mengerjakan semua pekerjaannya di rumah sakit. Tanpa pulang ke rumah.
Satu perhatian yang tidak pernah Bunda lihat dari cewek-cewek yang dekat dengan Devan. Perhatian Kania juga sangat berbeda dengan perhatian yang dilakukan Citra.
Salah satu dokter keluar. Memberikan senyuman mengatakan kalau Devan baik-baik saja. Kondisi kesehatannya mulai membaik. Hanya menjelaskan akan ada pemantauan perawatan selama sebulan. Kania terlihat sangat lega untuk itu.
Bergegas Kania meninggalkan tempatnya. Dokter mengatakan kalau Devan sudah bisa kembali dijenguk. Baru saja membuka pintu ruang inap, pemandangan Citra membuat Kania menghentikan niatnya. Gadis itu terlihat mengusuk surai rambut Devan dengan senyum yang sangat manis. Terlihat sangat menjengkelkan bagi Kania. Dan kenapa juga dia harus mengkhawatirkan Devan?
"Mah?!" panggil Kania. "MAMA DULU DEH. AKU MAU MAKAN." Kania tentu saja terlihat sangat jengkel. Raut mukanya sama sekali tidak bisa berbohong.
Dalam hitungan detik Kania pergi mengarahkan langkahnya ke kantin.
KAMU SEDANG MEMBACA
By Your Side [End]
ChickLit21+ (Completed) Hidup tidak mudah untuk Kania. Kepercayaannya akan cinta dan komitmen hancur setelah kelakuan ayahnya di masa lalu. Hidupnya hancur bersama ingatan masa lalu yang terus menghantuinya. Menjadi rekaman film yang terus berputar tanpa en...