8. Simbiosis Mutualisme

6K 160 0
                                    

Kania menyandarkan tubuhnya di punggung kursi kerjanya. Seharian ini berita mengenai hubungannya dengan Devan menyebar secepat kilat. Tidak ada berita terlewatkan, bahkan beberapa orang mengatakan kalau hubungannya dengan Devan sebenarnya sudah lama, hanya saja sengaja disembunyikan. Semacam backstreet.

Anak IT yang juga bertugas untuk memantau CCTV membuat berita bahwa Devan datang ke kantor malam-malam untuk Kania. Meskipun tidak sepenuhnya salah. Seluruh anak-anak kantor membicarakannya. Mulai dari ocehan di sosmed sampai celometan di kehidupan nyata.

Mata Kania tak berhenti mengintip notifikasi grub kantornya yang sudah hampir mencapai 100 pesan. Membuat kerjanya benar-benar terganggu. Beberapa kali kedapatan Kania mengigit pencil drawing-nya karena frustasi. Bukan frustasi karena omongan orang, lebih kepada ponselnya tidak berhenti berdenting.

Dinda is calling....

Ragu-ragu Kania menggeser tombol hijau.

"Gimana ceritanya lo buat sensasi di kantor tapi nggak pernah rundingan dulu ke gue? Kok lo nggak cerita apa-apa sih kalau lo bawa Devan ke kantor? Gue kira lo nggak tertarik loh sama nih anak. Lo nolak sodoran gue kan? Yeee ternyata lo sendiri yang nyosor-nyosor ke tuh anak. Pokoknya gue beneran butuh penjelasan sama hubungan lo yang tiba-tiba ini," teriakan Dinda terdengar sangat keras di telinganya. Kania spontan menjauhkan ponselnya dari telinga, menghindari suara Dinda. "Lo apain si Devan?"

Kania jelas menghela napas panjang. Menimbang apa yang akan dijawab. Dia cukup pusing menjawab pertanyaan teman-temannya, sekarang Dinda malah semakin membuatnya pusing. "Itu..."

"Kayaknya gue harus balik nih ke Jakarta."

"Di sana aja udah."

Suara Dinda hilang. Hanya keheningan sampai akhirnya Kania kembali mendengarkan suara dehaman. "Gue tau banget sama lo Kani, lo nggak mungkin tiba-tiba berubah pikiran. Ini udah kacau banget tau nggak. Sampai anak kantor pada heboh."

"Itu mereka aja yang heboh." Menggigit bibirnya panik.

"Lo tiba-tiba konfes ke semua orang kalau lo udah punya cowok." Dinda menghela napas panjang. "Apa sih yang lo rencanain sekarang?"

"Ini cuma setingan."

"Apa lo bilang?" Dinda sangat terkejut dibuatnya. Nada setengah berteriaknya kembali keluar. "Gampang banget bilang setingan? Setingan buat apaan sih Kani? Lo ini namanya cari masalah. Lo nggak kasihan sama Devan? Tuh anak naksir sama lo, asal lo tau."

Kania tidak menyahut.

"Gini ya, kalau lo nggak siap buat jalani hubungan serius sama cowok kenapa lo paksain sih? Ini nggak ada hubungannya sama harga diri. Pernikahan ataupun hubungan serius itu nggak bisa dibuat main-main. Lo tau sendiri kan konsekuensinya. Orang tua lo ngalamin semua itu. Lo mau ngulangin kesalahan yang sama lagi? Siapa yang bakal lo korbanin kali ini? Devan? Atau siapa?" Dinda berhenti sejenak. Mengambil napas panjang-panjang. Berpikir lagi apa yang harus dia jelaskan kepada Kania. "Nikah itu menyenangkan. Itu yang gue alami. Tapi di sisi lain juga bukan mainan. Waktu lo mewujudkan keinginan seseorang yang lo cintai, kalau lo beneran cinta nih, lo bakalan menemukan kebahagiaan. Hidup lo bakal punya tujuan. Tapi kalau lo main-main konsekuensinya bukan hanya hubungan toxic, tapi lo bisa hancurin hidup orang lain. Itu mamanya jahat, Kani."

Kania masih diam mendengarkan. Tidak berniat menjawab. Lebih tepatnya, dia tidak tahu harus merespons ini bagaimana. Toh Devan sepakat dengan perjanjiannya.

"Kali ini gue beneran nggak sepakat sama lo. Jangan salah ambil langkah. Gue takut lo bakal menyesal nantinya."

"Kita udah ada kesepakatan," jawab Kania pada akhirnya. Tidak suka dipojokkan begitu saja. Benar, kemarin baik Kania dan Devan menerima kesepakatan mengenai hubungan ini. Beserta imbalan yang akan mereka dapatkan masing-masing. Ini bukan hubungan tanpa simbiosis mutualisme. "Kalau Devan mau kenapa lo yang repot?"

By Your Side [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang