20. Rasa Takut

2.3K 108 1
                                    

Kania beberapa kali menghembuskan napas untuk mengusir Devan dari pikirannya. Nama Devan tak berhenti melayang di kepalanya. Baru saja bayangan itu benar-benar enyah dari kepalanya, tiba-tiba ponselnya berdering, nama Devan terpampang di sana. Kania mengangkat ponsel. Mempertimbangkan akankah dia menjawab telepon itu atau mengabaikannya.

"Em. Hallo," suara di seberang sana terdengar ragu-ragu. Beberapa helaan napas terdengar sebelum Devan meloloskan perkataannya.

Kania ikut menghembuskan napas. Menoleh ke kanan kiri. Meja kubikel teman-temannya terlihat sangat penuh. Mereka semua fokus mengerjakan proyek yang dikerjakan. Proyek besar di Palembang. Kania memang tidak ikut membangun proyek itu. Itu sebabnya dia sedikit lenggang untuk hari ini.

"Ini kamu ada di kantor? Aku ganggu nggak kalau telpon kamu jam segini?" lanjut Devan. Memastikan kalau dia tidak mengganggu jam kerja Kania. Toh ini sudah menunjukkan pukul 12 siang. Pekerja kantoran manapun pasti sedikit lenggang di jam segini. Lihat saja lalulintas Jakarta yang sudah sangat padat. Bahkan dari lantai gedung, Kania bisa melihat kalau kafe Devan mendadak rame di jam segitu.

Kania menghembuskan napas panjang setelahnya. Tahu kalau itu hanyalah basa basi Devan untuk memulai pembicaraan tidak penting ini. Malas menempelkan ponsel di telinganya. Kania diam sebentar, memasang air buds di telinganya. Membuat pembicarakan lebih santai sambil menyandarkan punggungnya sekaligus menyilangkan kedua tangan di depan dada. Terlihat sangat santai. Ponselnya dibiarkan tertidur santai di meja kubikelnya. "See, langsung saja."

Terdengar kekehan Devan setelahnya. "Kalau kamu masih ada waktu buat jalan sebentar..." Devan terdengar enggan melanjutkan. "Tapi kalau kamu nggak bisa sebaiknya, kita bicarakan nanti."

"Ada waktu sampai jam 4," jawab Kania setelahnya. Menerima ajakan Devan.

"Seriusan? tapi itu kan jam kerja, Kania. Kalau nggak bisa mending kita tunda dulu deh, masih ada weekend," ujar Devan kemudian. Tidak mau terlihat bersalah. "Ini juga bukan yang terlalu penting kok sampai kamu harus korbanin jam kerja kamu."

"Kalau nggak mau ya gapapa."

"Eh tunggu.... Kalau beneran free aku tunggu di kafe aja ya?" tanya Devan. "Itupun kalau kamu nggak keberatan. Kalau keberatan bilang aja, aku mau kok jemput kamu di depan lobi kantor."

"Aku tunggu di lobi kantor lima menit lagi," ujar Kania. "Terlambat sedikit, aku ke atas lagi. Masih banyak urusan."

Setelah memoles lipstik agar terlihat tidak pucat. Kania bergegas mematikan komputernya. Bergeser ke arah laptop, membungkusnya ke dalam tas. Setengah terburu meninggalkan ruangannya.

Terhitung tidak sampai 5 menit. Devan sudah berdiri di samping motor Royal Enfield. Tersenyum ke arah Kania. Menyerahkan helm setelahnya.

Kania menghela napas. Mengekori Devan yang kini sudah duduk di atas motor bututnya. Ragu-ragu memakai helm di tangannya. Terakhir kali Kania memakai helm orang lain, bau-nya cukup mengganggu. Namun sepertinya Devan tidak bodoh dengan memberikan helm busuk seperti itu kepadanya.

Pelan-pelan Kania duduk di jok belakang. Kedua tangannya memegang pundak Devan. Sedikit meremas. Takut-takut Devan mengemudi motornya asal-asalan. Ternyata tidak, bahkan Devan membawa motornya dengan sangat tenang. Tidak membuatnya takut sama sekali.

"Cuman gitu aja cara boncengan sama tunangan sendiri?" tanya Devan meraih tangan kiri Kania. Memindahkan agar melingkar ke perutnya. Kania hanya pasrah. Bahkan sedikit tidak peduli. Membiarkan begitu saja kedua tangannya memeluk pinggang Devan. Terkesan menyenderkan tubuhnya yang lelah ke punggung Devan. Pekerjaannya akhir-akhir ini memang melelahkan. Entah mengapa sejak dia tertidur pulas di dalam pelukan Devan, Kania mulai merindukan pelukan itu lagi.

By Your Side [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang