21. Rasa Bersalah

2.2K 98 8
                                    

Devan menghentikan langkahnya di depan pintu toko kue. Tepat di sana sebelum akhirnya memutuskan untuk meraih ganggang pintu setengah terbuka. Bunda terlihat sangat sibuk menata kue di rak etalase. Bersama dengan ke 4 pegawai yang sudah bekerja hampir dua tahun di sana.

Berbeda dengan kafe dan restoran yang dia punya, kebanyakan karyawan di tempat Bunda adalah perempuan. Jika dia merekrut karyawan laki-laki, Bunda akan lebih senang jika karyawan di tempatnya adalah perempuan.

Seperti biasa, karyawan toko kue selalu memberikan salam padanya dengan sebuah anggukan. Sementara Bunda bergegas menghampirinya sambil menepuk-nepuk lengannya. Devan tersenyum ke arah Bunda. Duduk di salah satu meja costumer. Menunggu Bunda menyelesaikan pekerjaannya.

Ini bukan pertama kalinya Devan datang ke tempat ini. Sebenarnya Bunda sudah memintanya untuk menangani toko kue milik Bunda. Namun dia tolak. Bukannya tidak mau, dia merasa belum cukup jago untuk membuat kue seperti yang sering dilakukan Bunda. Bunda masih terlalu jago untuk urusan membuat kue dan semacamnya.

Sambil menunggu Bunda kembali. Devan duduk sambil memakan kue yang sudah disajikan untuknya.

"Kamu tumben datang ke tempat Bunda?" tanya Bunda begitu selesai membereskan pekerjaannya.

"Kebetulan, Bun," jawab Devan pelan.

"Nggak lagi ada masalah dan larinya ke Bunda kan?" kekeh Bunda. "Kamu tuh ya, kalau bikin masalah selalu aja datang ke Bunda."

Devan terkekeh. Bunda memang sudah sangat tahu bagaimana dirinya. Sepertinya Bunda sadar ketika Devan datang ke tempatnya dengan muka ditekuk lesu seperti saat ini.

Bunda mengambil duduk di sebelah Devan. Ikut memakan kue coklat kesukaan putranya itu. Hanya diam saja menunggu putra kesayangannya itu bicara.

"Bunda udah dengar apa aja?" tanya Devan ragu-ragu.

Sementara itu Bunda meraih tangan Devan. Menggenggamnya sambil melepas cincin pemberian Kania pelan. Devan yang saat itu melihat tindakan Bunda memutuskan untuk diam saja. Dia juga tidak bisa merahasiakan masalah ini pada Bunda. Cepat atau lambat dia akan menceritakan semuanya.

Bunda menggenggam cincin itu setelah memperhatikannya sekilas. Ada sorot kecewa tentu saja. Namun pada akhirnya Bunda ikutan tersenyum. Sedikit menjauhkan cincin couple di sana. "Cincinnya cantik. Kenapa kamu nggak pernah bilang soal cincin ini ke Bunda? Bunda nggak tahu apa-apa loh sampai Citra bilang kalau kamu udah punya tunangan!"

"Devan minta maaf, Bun."

"Gapapa, itu sudah keputusan kamu. Bunda bisa apa. Lain kali jangan rahasiain apapun dari Bunda ya. Bunda nggak mau kelihatan bodoh waktu Citra bilang kamu udah punya pasangan. Di waktu yang sama Bunda nggak tahu apa-apa."

"Namanya Kania, Bun."

Beruntung Bunda hanya menunjukkan senyum lebarnya. Kembali Bunda memasang cincin milik Devan kembali ke jemari putra kesayangannya itu. Devan memandang wajah Bunda. Wajah yang menunjukkan percaya kepadanya. Ikut bahagia tentu saja. Seperti kebanyakan orang tua pada umumnya.

"Seharusnya selesaikan dulu masalah kamu sama Citra, Nak. Setelah itu cerita ke Bunda." Suara Bunda terdengar lesu.

"Citra nggak mau maafin Devan Bun. Devan juga bingung harus gimana," jawab Devan.

"Kamu tau kan Citra ada suka sama kamu?" Perkataan Bunda membuat kejut di raut muka Devan. Kelihatan tidak tahu apa-apa tentu saja.

Bunda meraih tangan Devan. Menepuknya sebelum pergi sebentar melayani costumer. Meninggalkan Devan yang saat ini malah bertanya-tanya dengan pernyataan Bundanya. Apa benar Citra menyukainya? Itulah yang ada di dalam pikiran Devan saat ini.

By Your Side [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang