"Udah aku bilang kan, gak usah terima undangan Mama." Kania mengomel ke sekian kalinya.
"Nggak enak juga tolak permintaan orang tua," jawab Devan sambil melepas kemeja birunya. Menyisakan tubuh setengah telanjang. "Mama cuma mau kejelasan dari hubungan kita. Gitu doang nggak lebih kok."
"Jangan coba-coba ambil keputusan bodoh ya awas!" tegas Kania memperingatkan. Membiarkan Devan mengambil tidur di sebelahnya. "Hubungan kita nggak lebih dari kesepakatan kalau kamu masih ingat, Dev!"
Devan merespon dengan dehaman. Entah mengapa mendadak kesal setiap kali diingatkan seperti itu. "Iya ingat kok. Tapi nggak ada salahnya kalau kita terima saran Mama."
Kania menonyor kepala Devan begitu mendengar perkataan itu keluar dari mulutnya.
Sementara Devan hanya tersenyum dibuatnya. Semakin merapat setengah memeluk Kania yang saat ini fokus duduk di punggung ranjang sambil membaca buku di tangannya.
Entah buku apa yang dibaca oleh Kania, pelan-pelan Devan menyingkirkan buku itu. Membimbing kepala Kania untuk tiduran di sampingnya. Kemudian memutar tubuh tidur menghadap Kania, dan menciumnya. Hanya ciuman sekilas yang jujur saja membuat Kania tersentak.
Saat menarik diri, sangat jelas Devan melihat wajah merona Kania. Respon yang sering terjadi setiap kali ia melakukannya. Sedikit membuat Devan ketagihan dengan respon itu.
"Kalau Mama minta kita cepet-cepet nikah emangnya salah banget ya Kani? Aku tahu hubungan kita emang hanya karena kesepakatan. Tapi bukannya kita saling membutuhkan satu sama lain? Atau kita buat perjanjian lagi di pernikahan kita nanti. Gimana?"
Kania melemparkan tatapan tajam. Yang membuat Devan ingin menarik kata-katanya saat itu juga. Meskipun begitu Kania tidak merespon apapun. Hanya membalik badannya, pertanda tidak mau membahas hal itu lagi. Devan sampai tidak tahu lagi harus melakukan apa. Selain menatap punggung Kania yang masih berbalut tank top hitam.
Tidak lama terdengar suara hembusan napas. "Apa yang bisa kamu janjikan?"
"Dicoba aja," jawab Devan terlampau santai. "Kamu minta apa aku coba penuhi nanti."
Jawaban yang sangat klasik.
Devan menyeringai. Mengusuk kepala Kania begitu Kania menoleh ke arahnya. Wajah juteknya tentu masih terlihat. Tapi kali ini tidak ada penolakan dari Kania ketika Devan melakukannya.
"Emangnya kamu bisa monogami?"
Kania terlihat sedih. Sangat jelas terlihat dari perubahan mukanya. Luka itu sepertinya benar-benar menyakiti Kania.
Sepanjang detik kemudian Kania hanya diam. Sementara Devan terus mengusuk pelan lengan Kania untuk menenangkannya.
Perlakukan Devan sepertinya mampu menenangkan Kania. Lihat saja kini mata Kania terpejam menikmati sentuhan yang diberikan Devan. Memang menenangkan, sampai Kania tidak tahan menggeser tubuhnya lebih dekat lagi dengan Devan dan sengaja menempelkan kepalanya di dada bidang Devan.
Entah tidur atau belum. Nafas Kania sudah mulai ringan. Pertanda sudah mampir di alam bawah sadar.
"Kita jadi nikah nggak?"
"Nggak," jawab Kania spontan, seraya membuka matanya.
Devan membalas tatapan Kania. Terus menatap sampai Kania menurunkan pandangan kehilangan nyali.
"Nggak usah lihatin aku kayak gitu," protesnya gugup.
"Kalau kita nikah, kamu maunya anak berapa?" Pertanyaan absurd itu sungguh mengejutkan Kania. Bagi Kania memiliki anak tidak termasuk dalam rencana hidupnya. Apalagi menikah.
KAMU SEDANG MEMBACA
By Your Side [End]
ChickLit21+ (Completed) Hidup tidak mudah untuk Kania. Kepercayaannya akan cinta dan komitmen hancur setelah kelakuan ayahnya di masa lalu. Hidupnya hancur bersama ingatan masa lalu yang terus menghantuinya. Menjadi rekaman film yang terus berputar tanpa en...