"Nek... Gini amat sih hidup lo. Nyusahin gue tau nggak," omel Dinda seraya mengambil termometer dari ketiak Kania.
"Devan gimana?" tanya Kania sambil memejamkan mata. Suhu tubuhnya lumayan tinggi. Bahkan untuk membuka mata pun terasa sangat pusing.
Dinda memukul keras lengan sahabatnya itu. Tidak peduli meskipun Kania merintih kesakitan. "Yang harusnya lo pikirin itu ya elo-nya sendiri. Ngapain mikirin orang lain. Orang lagi sakit juga," omel Dinda. "39 nek suhu badan lo. Kita ke rumah sakit aja ya?"
"Enggak. Gue mau Devan."
Dinda hanya bisa garuk-garuk kepala. "Devan bentar lagi muncul kalo lo sembuh." Dinda bergerak turun dari ranjang Kania.
"Jangan banyak gerak. Pusing!" gerutu Kania.
"Kita ke rumah sakit ya Nek. Lo udah mau metong." Dari tempat Kania Dinda bergerak menuju dapur. Mengambil bubur yang sudah disiapkan oleh Mama Ratih. "Umur lo udah kecekik banget nih."
Kania sama sekali tidak menggubris. Wajahnya sudah menahan sakit. Sementara tangannya berkali-kali mengusuk pelan perutnya.
"Kenapa nek perut lo?" tanya Dinda memicingkan mata heran. "Makan dulu yuk, gue suapin."
Kania menggeleng pelan. "Ga mau."
"Ya kalau nggak mau darimana lo dapat asupan gizi?" tanya Dinda mulai kesal sendiri. "Lo inget kan kalau gue hamil, Nek? Ga usah nyusahin deh."
Kania akhirnya berusaha menyandarkan tubuhnya di punggung ranjang. Wajahnya terlihat sangat pucat. Bahkan ketika membuka mata, wajah Kania sama sekali tidak bersahabat. Matanya merah. Sementara wajah juteknya semakin terlihat jutek.
Tidak lama Kania kembali memejamkan mata. "Gue nggak bisa duduk," ucapnya dengan suara serak.
"Tiduran aja."
"Nggak bisa. Tetep pusing," jawab Kania meskipun pada akhirnya memilih tiduran menyamping. Membelakangi Dinda. Kemudian kembali memposisikan dirinya ke posisi lain. Membuat Dinda berdecak keheranan. "Lo udah tanya orang rumah sakit?"
"Ada kamar kosong kok buat lo."
"Bukan gue.. Devan. Gue bilang Devan!!" sentak Kania dengan wajah setengah marah.
Hueeekkkk!
Disusul muntahan kemudian. Membuat Dinda bergidik ngeri. Pasalnya selama mengurus Kania saat sedang sakit. Tidak pernah seperti ini. Rasanya jadi aneh sendiri. Dan seperti mengurus anak bayi yang lagi sakit.
Tidak lama, Mama Ratih datang membawa obat-obatan dan baskom berisikan ice box. Mengantikan posisi Dinda untuk membersihkan muntahan Kania. "Duh nyusahin banget ya, Din? Maaf ya kalau tante lama banget datangnya," ujar Mama Ratih sambil membersihkan muntahan Kania.
Dinda hanya mengangguk sambil menunjukkan suhu badan Kania di termometer yang dia pegang. "Kayaknya Kania harus cepat di bawa ke rumah sakit, Tante." Dinda memberikan solusi untuk keadaan Kania.
Mama akhirnya mengecek kondisi Kania dengan menggunakan punggung tangan. "Sayang, mana yang sakit?"
"Perut, Mamah."
"Kita ke rumah sakit ya, biar sekalian tahu kondisi kamu." Mama ikut mengelus pelan perut Kania untuk menenangkan putrinya itu. "Mama panggil ambulance ya. Ini kalau dibiarin bisa makin parah loh Kania. Atau Mama panggil Kurnia aja ya biar antar kamu ke rumah sakit."
"Keadaan Devan gimana, Mah?"
"Jangan mikirin Devan dulu, dia baik-baik aja."
Kania terlihat menghela napas panjang. "Dia pasti baik-baik aja kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
By Your Side [End]
ChickLit21+ (Completed) Hidup tidak mudah untuk Kania. Kepercayaannya akan cinta dan komitmen hancur setelah kelakuan ayahnya di masa lalu. Hidupnya hancur bersama ingatan masa lalu yang terus menghantuinya. Menjadi rekaman film yang terus berputar tanpa en...