5. Ekspreso

3.6K 154 21
                                    

Ting!

Pintu kafe kembali berdenting. Devan menoleh ke sumber suara. Bukan, ternyata bukan sosok yang dia rindukan. Sosok yang membuatnya serba salah dan masih mengantongi kartu akses. Satria ikut tertawa ketika mendapati Devan beberapa kali menoleh ke arah pintu masuk kafe. Sesekali terlihat bersandar sambil menoleh. Seakan mengatakan kalau gadis yang dia tunggu tidak mungkin datang.

Ini sudah 3 hari sejak Kania datang bersama dengan Regi dan Dinda. Kebetulan yang sama saat itu Devan sedang berada di luar kota. Untuk pekerjaan lain.

"Nih." Satria memberi Devan segelas paper cup ekspreso. "Kania pesen ekspreso dari kafe kita. Bayangin aja gitu." Satria tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi bingung Devan.

"Emang iya Kania pesen ini?" Devan bertanya bingung.

"Ya anggap aja gitu."

Devan hanya diam saja. Tidak berniat untuk mengintrupsi lagi. Semuanya percuma. Satria hanya tertawa mengejeknya.

"Bro gini ya bro, lo itu lulusan universitas terbaik. Kumlot. Dan jelas 35 tahun hidup di dunia ini. Masa' lo nggak ngerti-ngerti sih caranya gaet cewek cakep?" tanya Satria. Kini giliran Satria memberikan struk bill. Devan dibuatnya semakin kebingungan.

"Maksud lo?"

"Ini jam makan siang kan?"

Devan mengangguk. Kafe juga sudah mulai rame. Beberapa orang berdatangan. Hanya ada sekitar 3 sampai 4 meja yang kosong. Etalase kue dan snack juga mulai berkurang.

"Tapi kayaknya Kania nggak bakal datang," gumam Devan.

"Eh bro, bukan itu. Cerdas dikit dong. Itu otak kurang diasah buat gaet cewek nih."

Untuk urusan cewek track record Devan memang masih kurang. Terakhir kali dia berhubungan dengan cewek itu sekitar 6-7 tahun yang lalu. Ketika usianya tidak setua sekarang. Itupun ia ditinggalkan begitu saja.

"Tuh kalau jam istirahat kebanyakan anak kantoran pada keluar cari makan."

Devan mengangguk setuju. Memang pada kenyataannya seperti itu.

"Tapi Kania nggak kelihatan kan di sini." Satria mengedarkan pandangannya. Memang tidak ada makhluk bernama Kania di sini. "Tempat lo nggak bikin kenyang bro. Dia nggak bakal nongkrong di sini."

Devan kembali mengangguk setuju. Bibirnya berkerut.

"Artinya apa?" tanya Satria.

"What?"

"Kalau Kania nggak datang dimari, dia dimana sekarang?"

Devan mengangkat bahunya tidak mengerti. Sekaligus bingung dengan apa yang dipikirkan sahabatnya itu. Lagian siapa juga yang tahu jalan pikir Kania? Ketemu aja tidak ya kan?

"Lo sebenernya suka nggak sih sama tuh cewek?"

Devan semakin bingung.

"Mas, Jasmine tea nya satu." Seseorang di belakang Devan menginterupsi. Membuatnya terkejut. Satria lagi-lagi tertawa.

Itu bukan Kania. Hanya orang asing yang kini berdiri di depan kasir. Devan sengaja memberi jalan. Sampai Satria menyelesaikan pekerjaannya, Devan hanya diam memandang ekspreso di tangannya. Lama-lama ekspreso itu mulai tidak dingin lagi.

Devan meneguk ekspreso di tangannya.

"Kok lo minum?" tanya Satria. "Itu kan punya Kania."

"Seriusan?"

"Bayangin aja dulu."

Devan membalas Satria dengan menggunakan jari tengah. "Gue nggak becanda."

"Lah siapa bilang gue becanda. Kalau lo pinter, lo bisa aja kan kebayangin kalau tuh kopi emang punya Kania. Plan A nya lo datengin kantor Kania yang udah tinggal 10 menit lagi jam makan siangnya selesai, kasih tuh kopi ke Kania. Bilang aja ke satpamnya kalau si Kania pesen tuh minuman. Plan B nya, karna lo punya kopi itu sekarang di tangan lo, lo bisa pergi ke kantin anak-anak kantor. Cari Kania di sana. Kalau ada kasih deh kopinya. Bilang kalau lo mau bagi kopi itu. Terus kalian kenalan. Perfect, semua terkendali. Urusan cinta pun lancar." Mengacungkan jari jempol dengan sangat percaya diri.

By Your Side [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang