Rintik hujan mengguyur sabtu pagi ini. Setelah sholat subuh, aku dan Mas Langit masih bergelung di bawah selimut yang tebal. Jangan bayangkan sesuatu yang indah sedang terjadi. Dia tetap tidur membelakangiku dan tetap ada guling pembatas di tengah-tengah tempat tidur kami.
Masih tercetak jelas dalam ingatanku, semalam beberapa kali Mas Langit mengecek suhu tubuhku dengan punggung tangannya. Mungkin pikirnya aku sudah tertidur padahal aku hanya sekedar memjamkan mata. Istirahat sejak tadi siang membuatku sulit tidur pada malam hari.
Perhatian kecil ini cukup membuatku luluh. Meskipun baginya kecil tetapi ini sangat berarti buatku.
Aku menatap punggung kokoh suamiku. Ingin sekali aku memeluknya meskipun hanya sebentar. Tanganku terulur memindai punggung kokoh itu. Tiba-tiba pusatku teralihkan saat terdengar bunyi hp yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurku bergetar beberapa kali.
Remuk Lagi.
Ternyata panggilan dari Marisha dengan ikon simbol hati di belakang namanya.
Aku mengabaikan benda pipih yang terus bergetar itu. Lebih memilih menarik selimut dan mejamkan mata. Aku sudah tidak peduli.
Terasa ranjang disampingku bergerak. Aku rasakan Mas Langit meraih benda pipih itu lalu menjawab panggilan dari Mbak Caca.
📞: "Assallammuallaikum Ca. Ada apa?"
📞: ................
📞: "Ke Surabaya? Siang ini?"
📞 :...............
📞: "Akan aku usahakan, aku temani. Jangan sendiri"
📞:..............
📞:"Iya Bye"
Hanya percakapan itu yang aku dengar. Mas Langit beranjak dari ranjang kemudian berlalu ke kamar mandi.
Aku bangun dari tidurku. Menyandarkan tubuh pada headboard tempat tidur. Mencerna percakapan antara Mbak Caca dan Mas Langit barusan. Dari awal bukan aku yang ada di hatinya, jadi prioritas utama bukanlah diriku.
Aku beranjak dari tempat tidur bersamaan dengan pintu kamar mandi yang dibuka. Terlihat Mas Langit mengusap rambutnya yang basah dengan handuk kecil keluar dari kamar mandi. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk menyelesaikan hajatku.
"La" Panggil suamiku.
"hmm" Aku kurang antusias menjawab panggilannya. Aku yakin dia mau ijin kepadaku untuk pergi ke Surabaya menemani Mbak Caca.
"La, siang ini saya harus ke Surabaya untuk bertemu investor membahas proyek pembangunan hotel" Ucapnya.
Aku yakin ini hanya kalimat pembukaan untuk meminta ijin agar bisa pergi dengan Mbak Caca.
"Iya mas silahkan" Ucapku. Aku tidak mungkin untuk menolak ijinnya bukan?
"Marisa akan ikut untuk proyek itu" tambahnya.
Aku hanya mengangguk sebagai isyarat kalau aku mengijinkannya. Toh laranganku juga tidak akan berlaku. Suamiku sendiri yang mengajukan diri untuk menemani Mbak Caca pergi ke Surabaya.
"La" panggilnya lagi.
"Ya" jawabku malas.
"Saya tahu kamu belum pulih, tapi bisa tidak untuk temani saya ke Surabaya" pintanya.
Bingung. Satu kata yang berputar di otakku ketika Mas Langit mengajakku pergi ke Surabaya bersama Mbak Caca. Entah harus bahagia atau bersedih. Aku tidak tahu apa yang akan aku jumpai nanti disana? Luka-kah atau bahagia?
Tiba di bandara. Mbak Caca cukup terkejut ketika Mas langit mengajakku pergi bersamanya. Tergambar jelas di raut wajahnya.
"Maaf Ca. Saya ajak Laila dalam urusan kerjaan karena dia sedang sakit dan tidak ada yang menjaganya" Jelas Mas Langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Pilihan Bunda (End)
RomanceGema Langit Ramadhan, nama laki-laki yang telah sah menjadi suamiku setelah selesai mengucapkan ijab qobul. Aku berdoa kepada Allah semoga pernikahan ini bisa menghadirkan cinta diantara kami. Sejak awal aku sudah tahu, bahwa hatinya bukan milikku...