Hari ini bunda Eriyana akan dirujuk ke Rumah Sakit Mount Elizab*** yang berada di Singapura. Dokter penyakit dalam yang menangani bunda menyarankan rumah sakit itu untuk menangani operasi cangkok ginjal serta memantau kesehatan bunda karena menderita komplikasi.
Mas Langit, Raka, serta tante Mas Langit yang bernama tante Rita akan mendampingi bunda saat berada di Singapura. Mas Langit dan Raka akan kembali lagi ke Indonesia setelah bunda selesai operasi dan kondisi bunda dinyatakan stabil. Rencananya untuk masa recovery, bunda akan ditemani oleh tante Rita.
Aku dan Hanifa mengantar rombongan Mas Langit ke Bandara. Sebelum pesawat lepas landas tante Rita memelukku erat. "jaga diri baik-baik ya sayang, doakan bunda agar operasinya lancar"
"Amin, pasti tante. Laila pasti mendoakan kesembuhan bunda" kataku dengan membalas pelukan tante Rita tidak kalah erat.
"Saya berangkat ya La" pamit Mas Langit. Spontan aku mengulurkan tangan untuk salim ke Mas Langit. Aku mencium tangan itu ke hidungku namun secepat kilat Mas Langit menarik tangannya. Ada raut gugup yang ku lihat dari wajahnya. Mungkin Mas Langit malu karena sedang berada di depan umum atau belum terbiasa dengan kebiasaan salim ini.
"Saya pamit" Ucapnya lalu melangkah pergi.
Saat Mas Langit dan Raka berjalan menuju gate keberangkatan aku berlari menghampiri Mas Langit "Mas tolong kabari kalau sudah landing" ucapku setengah berteriak. Mas Langit hanya mengangguk kemudian berlalu pergi.
"Dingin sekali" monologku pada diri sendiri.
-----------------------------
Aku dan Hanifa memutuskan untuk mampir ke kafe sebelum pulang. Mengisi perut yang kosong karena sebentar lagi waktunya jam makan siang.
Aku memesan salad dan orange jus sedangkan Hanifa memesan Chiken cordon blue dan lemon tea. Kami ngobrol ngalor ngidul membahas banyak hal sambil menikmati makanan. Dari mulai artis yang sedang naik daun, drama korea terbaru, gosip di rumah sakit tempat Raka dan Hanifa bekerja sampai salah satu pertanyaan hanifa membuatku tersedak.
"La, kamu bahagia menikah dengan Mas Langit?" Aku buru-buru menyeruput orange jusku untuk meredakan batuk-batuk akibat tersedak mendengar pertanyaan hanifa.
"Tentu aku bahagia" Jawabku singkat padat dan jelas.
"Kamu cinta sama Mas Langit?" Tanyanya lagi. Aku tidak pernah menceritakaan kepada siapapun kalau sebenarnya aku sangat mencintai Mas Langit. Aku merasa rendah diri dan tidak pantas memiliki Mas Langit sebagai suamiku. Bahkan aku tidak mempunyai keberanian menyebut namanya di dalam doaku.
Sepertinya Allah ingin menegurku melalui pernikahan ini. Semua derajat manusia itu sama. Kenapa aku tidak berani menyebutnya dalam doaku agar Mas Langit menjadi jodohku. Aku terlihat sombong karena tidak yakin doaku dikabulkan oleh Allah. Kun Fayakun jika Allah menghendaki maka jadilah.
"Ya cintalah, Mas Langit kan suamiku" jawabku memulai kejujuran.
"Syukurlah, tapi kamu gak merasa terpaksa kan La?" Tanyanya memastikan.
"Hanifa kamu kenapa sih? Tumben banget tanya begituan?" Tanyaku penasaran.
Hanifa menyandarkan punggungnya ke kursi lalu meraih lemon tea dan meminumnya melalui sedotan. Setelahnya memainkan sedotan itu dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Biasanya Hanifa melakukan ini jika ingin mengutarakan sesuatu tetapi masih ada keraguan di hatinya. "Ada apa hmm?" tanyaku lagi ketika Hanifa tidak kunjung menjawab pertanyaanku tadi.
"La, ingat gak ketika kita berlima main truth or dare waktu liburan di Villa milik keluarga Mas Langit?"
Alisku mengkerut mencerna pertanyaan Hanifa. Aku masih ingat betul liburan itu. Liburan dimana aku, Hanifa, Raka, Mbak Caca, dan Mas Langit menghabiskan libur semesteran di Villa milik keluarga Mas Langit.
Banyak kegiatan yang kita lakukan saat liburan itu. Bermain arum jeram, memancing, barbekyuan, dan bermain game.
Saat barbecue itulah terlihat jelas kedekatan antara Mas Langit dengan Mbak Caca. Salah satunya ketika Mbak Caca menyuapkan potongan daging yang dipanggangnya kepada Mas Langit. Mereka sangat akrab dan saling bercengkrama hanya berdua saja.
Setelah acara barbecue, malam harinya kita melanjutkan dengan bermain game salah satunya bermain truth or dare. Putaran pertama ujung botol berhenti ke arah Hanifa. Waktu itu Hanifa memilih dare dan dia harus memakan satu sendok sambal karena lebih memilih tantangan.
Diputaran kedua ujung botol berhenti di hadapanku. Akhirnya aku memilih truth karena aku tidak akan sanggup memakan sambal seperti Hanifa. Bisa berakhir dengan diare akut pikirku.
Mbak Caca yang memberikan pertanyaan saat itu "Jika di dunia ini hanya ada Raka dan Langit, siapa yang akan kamu pilih diantara mereka?"
"Ra..Raka" jawabku tergagap tidak menyangka pertanyaan dari Mbak Caca. Maaf jika aku berbohong di hadapan mereka. Tidak mungkin aku jujur menjawab jika aku memilih Mas Langit di depan Mbak Caca. Aku tidak seberani itu. Terlihat Raka yang cengar-cengir didepanku seperti menggoda. Begitulah Raka suka jail dan mengejekku. Saat aku melirik kearah Mas Langit terlihat raut wajah kecewa. Tapi aku masih ragu dan belum bisa membaca raut wajah Mas Langit. Mungkin aku salah lihat waktu itu.
"Masih" Aku menjawab pertanyaan Hanifa apakah aku masih mengingat tentang game truth or dare yang kita mainkan saat liburan itu.
"Aku berfikir kamu akan menikah dengan Raka karena kamu lebih memilih Raka dibandingkan dengan Mas Langit saat itu"
"Itukan udah lama Fa, lagian itu hanya sebuah permainan" terangku. "Aku dan Raka itu cuma sebatas sahabat. Jadi saat itu kenapa aku lebih memilih Raka karena aku lebih dekat ke Raka dibandingkan Mas Langit. Lagian waktu itukan Mas Langit masih sama Mbak Caca. Jadi ga mungkinkan kalau aku memilih Mas Langit." Terangku lagi panjang lebar.
"Tapi sepertinya Raka suka sama kamu La" aku tersedak makanan untuk ke dua kalinya mendengar pernyataan Hanifa. Buru-buru aku meminum orange jusku melalui sedotan.
"Ga mungkin Fa, kita itu cuman temenan. Ga mungkin Raka suka sama aku"
"Kamu beneran ga suka sama Raka? Beneran cinta sama Mas Langit?" mata Hanifa meyorot ke arahku menandakan meminta jawaban yang benar-benar menunjukan kesungguhan.
Aku menghela nafas kasar. Mungkin ini saatnya aku jujur mengungkapkan semuanya kepada sahabatku ini.
"Aku akan jujur Fa. Sudah lama aku suka sama Mas Langit. Rasa itu muncul sejak pertama kali aku bertemu Mas Langit. Awalnya hanya rasa suka dan kagum. Tapi lama-lama rasa itu berubah menjadi cinta. Aku hanya berani menyimpannya dan tidak berani mengungkapnya karena Mas Langit dan Mbak Caca saling mencintai waktu itu. Nggak mungkinkan aku masuk di antara hubungan mereka"
"Lagian, aku cukup tahu diri Fa, aku ini siapa. Anak yatim piatu yang tidak mungkin berani memimpikan orang sesempurna Mas Langit"
Hanifa mengusap punggung tanganku. "Tapikan sekarang Mas Langit udah jadi milikmu La. Are you happy now?" tanyanya dengan senyuman yang lebar.
"Yes, I Am" Jawabku tanpa ragu membalas senyum Hanifa.
"Boleh aku jujur La?"
"Apa?" tanyaku cepat.
"Kalau aku bilang aku suka sama Raka. Kamu ngasih dukungan gak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Pilihan Bunda (End)
RomanceGema Langit Ramadhan, nama laki-laki yang telah sah menjadi suamiku setelah selesai mengucapkan ijab qobul. Aku berdoa kepada Allah semoga pernikahan ini bisa menghadirkan cinta diantara kami. Sejak awal aku sudah tahu, bahwa hatinya bukan milikku...