10 Adakah yang lebih pedih?

11K 696 1
                                    

Malam sudah semakin larut. Tapi Mas Langit belum juga pulang. Aku bimbang akan menghubungi ponselnya atau tidak. Aku takut mengganggu jika dia memang sedang lembur pekerjaan.

Meskipun pada kenyataannya , aku tahu dia pergi makan malam dengan Mbak Caca. Tetapi aku mencoba berpikiran positif. Karena suamiku adalah pria yang baik. Pikirku.

Aku menunggu kepulangannya di teras. Bosan di teras aku kembali ke ruangan tengah menyalakan TV. Kembali lagi ke teras saat acara TV tidak ada yang menarik. Mondar mandir tidak jelas seperti orang gila.

Aku menguap menandakan rasa kantukku yang cukup berat. Tetapi aku harus tetap terjaga untuk menyambutnya ketika pulang kerumah. Suamiku sudah lelah mencari nafkah. Untuk itu aku harus menyambut kepulangannya. Menyiapkan makanan jika dia masih merasa lapar atau menyiapkan air hangat untuk dia mandi.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 00.00 tengah malam. Ini sudah terlalu larut. Aku memberanikan diri mendial nomor ponsel suamiku.

Panggilan pertama tidak dijawab. Aku mencoba mendial nomornya untuk kedua kalinya. Dan aku berjanji ini panggilan terakhir jika dia tidak menjawab untuk kedua kalinya. Aku takut jika menelponnya lagi justru akan mengganggunya.

Pada deringan ke empat panggilanku diangkat.

"Halo" dan itu suara Mbak Caca.

Aku terdiam sesaat. Terkejut karena ponsel Mas Langit diangkat oleh Mbak Caca. Aku harus tetap berpikir positif karena aku percaya pada suamiku. Suamiku orang yang baik.

"Laila" Panggil Mbak Caca dari ponsel.

"I...iya mbak. As...Assallammuallaikum. A..apa saya bisa bicara dengan Mas Langit?" tanyaku tergagap. Aku benci terlihat lemah di hadapan rivalku.

"Maaf La, langit sedang tidur. Kelihatannya dia sangat capek. Aku tidak tega membangunkannya"

DEG

DEG

DEG

'tidur? dimana? Dikantor atau dimana? Tidak mungkin di rumah Mbak Caca-kan? Aku sungguh sangat ingin tahu.' Batinku. Suamiku orang yang baik. Suamiku orang yang sholeh. Dia tidak mungkin selingkuh meskipun aku bukan pilihan hatinya. Aku tanamkan kata-kata positif di dalam kepalaku.

"Em... Apa Mas Langit masih di kantor mbak?" tanyaku dengan nada bergetar. Menahan tangis yang akan meledak itu sungguh berat. Pikiran mencoba berbaik sangka tetapi hati tidak bisa dibohongi.

"Tidak. Langit tidur di apartemenku"

DUAR

Tangisku meledak. Air mataku keluar tak bisa ku bendung lagi. Aku menutup mulut agar tangisku tak terdengar oleh wanita yang sekarang sangat ku benci.

Mas Langit kenapa kamu setega ini kepadaku. Melukai perasaanku. Adakah yang lebih perih lagi selain ini?

Apakah mereka tidur seranjang? Sejauh apa hubungan yang mereka lakukan? Aku tidak kuat mendengar ucapan wanita itu lebih jauh. Obrolan di ponsel aku matikan secara sepihak.

Menangis. Itulah yang aku lakukan sekarang. Di bawah guyuran air shower aku menangis sepuasnya. Menumpahkan rasa sedih, kecewa, dan sakit hati. Aku menangis sampai puas untuk mengurangi rasa sesak di dada.

Berjam-jam menagis membuat badanku sangat lelah. Aku beranjak dari kamar mandi lalu mengganti bajuku yang basah. Aku mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat tahajud.

Meskipun hatiku sakit, aku tetap mendoakan kebaikan untuk suamiku. Aku mengadu kepada Allah agar Allah meluluhkan hati suamiku agar mau melihat ketulusanku meskipun itu hanya sedikt.

Selesai sholat tahajud aku mengambil mushaf al-quran lalu membacanya. Membaca beberapa lembar qur'an membuat kerongkonganku haus. Aku beranjak untuk mengambil air minum. Tiba-tiba saja pandangankumenjadi kabur lalu menjadi gelap.

--------------------

Aku mencoba membuka mata perlahan menyesuakan cahaya yang masuk kemataku. Ruangan bercat putih dengan bau obat-obatan yang cukup menyengat membuatku tersadar kalau aku tidak sedang berada di rumah.

Aku mengangkat lenganku. Terlihat selang infus menancap di tanganku. Aku mencoba bangun tapi rasa pusing tiba-tiba menyerang membuatku mengurungkan niat.

"La, kamu sudah sadar?" tanya Mas Langit yang ternyata berada di sisi ranjangku.

Mas Langit mengambilkan gelas berisi air putih. Dia membantuku minum.

"Makan bubur dulu ya La" pintanya.

Aku menurut ketika Mas Langit menyuapiku dengan bubur. Aku tidak membantah karena perutku terasa sangat lapar. Ketika suapan ketiga aku menolak dengan memalingkan muka. Aku tidak membuka suara karena aku masih kecewa dengan dirinya.

"Kenyang? Sekali lagi ya" Aku menggeleng menolak permintaanya.

"Laila kamu kenapa?" Mas Langit menggenggam tanganku. Tak ada debaran di jantungku karena aku masih merasa kecewa yang mendalam kepada suamiku.

"La, ada apa? Ada yang kamu inginkan?" Mas Langit mencoba membujukku tetapi aku masih diam membisu. "La, please! Tell me what I supossed to do? kenapa diam aja"

Aku hanya ingin sendiri. Cuma sendiri untuk saat ini.

Air mataku tiba-tiba keluar tanpa permisi. Aku menangis di hadapan Mas Langit. Aku tidak mau Mas Langit melihatku selemah ini. Aku tidak suka.

"La... kenapa? Ada apa?"Mas Langit mencoba menenangkanku. Dengan ragu-ragu dia memelukku. Merengkuh tubuhku masuk kedalam pelukkannya.

Aku mencoba mendorong tubuh suamiku pelan karena aku tidak memiliki tenaga. Mas Langit semakin mengeratkan pelukannya.

"Saya pengen sendiri Mas" Ucapku pada akhirnya. Aku tidak mau berdekatan dengan Mas Langit seperti ini.

"Tolong tinggalkan saya sendiri Mas" aku mengulangi kata-kataku.

Mas Langit akhirnya melepaskan pelukannya.

"Saya akan keluar La. Tapi kamu tidak boleh sendiri." Ada raut rasa kecewa yang terpancar di wajah Mas Langit ketika mengatakan hal itu. Tetapi aku tidak bisa mengartikan kekecewaan itu.

"Saya akan panggilkan Hanifa atau Raka untuk menemanimu" ucapnya beranjak dari pintu kamar.

Istri Pilihan Bunda (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang